Kita Akan Dipersatukan Dalam Ikatan Suci Bila Allah Merestui
Olret – Mungkin mendoakanmu dari jauh adalah cara terbaik ku agar aku bisa memelukmu dalam rasa rindu ku ini. “Saat aku merindukanmu, aku hanya bisa menyelipkan namamu dalam doaku.”.
“Dalam jarak bersama waktu, aku selalu belajar untuk menahan rinduku padamu. Sabarlah dan harus percaya bahwa semua rindu itu ketika waktu pertemuan tiba aku akan memelukmu dengan semua rindu.
Bayanganmu itu selalu datang kapan pun dan di mana pun bagaikan bayangan yang selalu mengikuti ku, namun ini bukan tentang rasa takut, akan tetapi rasa rindu yang begitu dalam untukmu.
Memiliki pasangan bukan hanya tentang cinta dan kerinduan, melainkan sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Sungguh indah ketika kita saling mencintai karena Allah. Bahkan, rindu yang kurasakan saat ini pun karena anugerah yang Allah berikan kepada kita.
Bila Pada Akhirnya Kita Dipertemukan Dalam Ikatan yang Halal, Izinkan Aku Bertanya Perihal Rasa dan Rindu yang Kusampaikan Lewat Doa.
Menunggumu dalam kesabaran lebih indah bagiku daripada mengungkapkannya. Menantimu dalam doa lebih bermakna daripada menjelaskannya. Mungkin mendoakanmu dari jauh adalah cara terbaik agar aku bisa memelukmu dalam rasa rindu ini.
Jika nanti waktu mengizinkan kita untuk bertemu, Jika nanti Tuhan yang Maha baik mentakdirkan kita menjadi satu, Aku ingin bercerita banyak hal padamu
Tentang rasa, cinta, rindu dan cemburuku saat menanti mu, Tentang hari-hari yang tak pernah lepas dari memikirkan mu, Tentang doa-doa yang tak pernah luput dari mendoakan mu.
Aku ingin bercerita bagaimana lelahnya aku menantimu, Kadang aku ingin mengakhiri penantian ini dihati yang lain, Kadang aku ingin membuka kisah indah dengan seseorang yang telah lama mencintaiku Namun lagi-lagi hatiku berkata "bersabarlah, dia akan datang"
Dan aku pun kembali menanti mu, Aku kembali menutup hatiku agar tak seorang pun singgah kecuali untukmu yang ingin menetap Jika nanti kamu membaca tulisanku, Segeralah datang, aku lelah menantimu.
Kamu dan Aku Sebenarnya Tak Berharap Banyak Perihal Mahar, Kita Harus Belajar Ummu Sulaim Sebagai Pemilik Mahar Termulia.
Ummu Sulaim. Ia bernama lengkap Ruimasha’ Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Hiram bin Jundab bin ‘Amir bin Ghanam bin ‘Adie bin an-Najaar al-Anshariyah al-Khazrajiyah.
Ummu Sulaim adalah ibunda Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal keilmuannya dalam masalah agama. Selain itu, Ummu Sulaim adalah salah seorang wanita muslimah yang dikabarkan masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau termasuk golongan pertama yang masuk Islam dari kalangan Anshar yang telah teruji keimanannya dan konsistensinya di dalam Islam.
Dengan penuh keyakinan, Ummu Sulaim tanpa ragu meninggalkan kebiasaan orang jahiliyah dari menyembah berhala. Tak mudah bagi Ummu Sulaim untuk memeluk Islam, agama yang paling benar dan diridhai Allah subhanahu wa ta’ala.
Untuk memeluk agama Islam, ini tentu bukan suatu hal yang mudah bagi Ummu Sulaim. Ia harus berjuang keras dalam meyakinkan kerabat juga keluarga yang menentangnya.
Bahkan untuk meyakinkan suaminya sendiri yakni Maalik Ibnu Nadhar. Sang suami merupakan orang pertama yang menentang keputusan Ummu Sulaim. Saat itu Maalik Ibnu Nadhar sangat marah kepada Ummu Sulaim. "Apakah engkau telah musyrik?" tanya Maalik kepada istrinya. Dengan penuh keyakinan dan ketegasan Ummu Sulaim pun menjawab,
"Aku tidak musyrik tetapi aku telah beriman."
Meski ditentang oleh suaminya, Ummu Sulaim tetap meyakini keimanannya hingga pada suatu ketika suaminya meninggal di sebuah perjalanan. Kemudian ia berjanji pada dirinya sendiri untuk merawat Anas, anaknya, dengan sungguh-sungguh dan tidak akan menikah hingga Anas dewasa.
Kebaikan Ummu Sulaim diungkapkan Anas bin Maalik pada sebuah majelis, “Semoga Allah membalas jasa baik ibuku yang telah berbuat baik padaku dan telah menjagaku dengan baik.”
Ummu Sulain menyerahkan si jantung hatinya, Anas, sebagai pelayan di sisi seorang pengajar manusia dengan segala kebaikan, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah menyambutnya hingga sejuklah kedua mata Ummu Sulaim.
Sejak itu, banyak orang yang memperbincangkan Anas bin Malik dan ibunya dengan penuh kekaguman dan penghormatan. Kemuliaan dan kebaikan Ummu Sulaim terdengar di telinga Abu Thalhah, seorang hartawan di zaman itu.
Dengan penuh cinta dan kekaguman sehingga ia berusaha untuk meminang Ummu Sulaim. Abu Thalhah pun melamar Ummu Sulaim dengan mahar yang mahal sekali. Namun, lamaran itu ditolak Ummu Sulaim.
“Tidak sepantasnya aku menikah dengan seorang musyrik. Tidakkah engkau mengetahui wahai Abu Thalhah, bahwa sesembahan kalian itu diukir oleh seorang hamba dari keluarga si Fulan. Sesungguhnya bila kalian menyalakan api padanya pastilah api itu akan membakarnya.”
Sebagai da’iah yang cerdas, Ummu Sulaim tak silau dengan harta, kehormatan, dan kegagahan. Lalu ia berkata dengan santun, Tidak pantas orang yang sepertimu akan ditolak wahai Abu Thalhah. Akan tetapi engkau seorang kafir sedang aku seorang Muslimah yang tidak pantas bagiku untuk menikah denganmu.” Lalu Abu Thalhah berkata, “Itu bukan kebiasaanmu.” Ummu Sulaim berkata, “Apa kebiasaanku?” Ia berkata, “Emas dan perak.” Ummu Sulaim menjawab,”Sesungguhnya aku tidak menginginkan emas dan perak, akan tetapi aku hanya inginkan darimu adalah ‘Islam’.”
Lalu Abu Thalhah berkata, “Itu bukan kebiasaanmu.”
Ummu Sulaim berkata, “Apa kebiasaanku?”
Ia berkata, “Emas dan perak.”
Ummu Sulaim menjawab,”Sesungguhnya aku tidak menginginkan emas dan perak,
akan tetapi aku hanya inginkan darimu adalah ‘Islam’.”
Abu Thalhah lalu berkata, “Siapakah orang yang akan membimbingku untuk hal itu?” Ummu Sulaim berkata, “Yang akan mengenalkan hal itu adalah Rasulullah.” Pergilah Abu Thalhah menemui Rasulullah. Ketika itu Rasulullah sedang duduk bersama para sahabatnya. Saat melihat Abu Thalhah, Rasulullah bersabda, “Telah datang kepada kalian Abu Thalhah yang nampak dari kedua bola matanya semangat keislaman.”
Lalu Abu Thalhah datang dan mengabarkan apa yang telah dikatakan oleh Ummu Sulaim terhadapnya. Abu Thalhah pun ahkhirnya menikahi Ummu Sulaim dengan mahar yang telah dipersyaratkannya, yakni Islam.
Di dalam sebuah riwayat yang sanadnya shahih dan memiliki banyak jalan, terdapat pernyataan beliau bahwa ketika itu beliau berkata, “Demi Allah, orang seperti anda tidak layak untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir, sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta selain dari itu.” (HR. An-Nasa’i VI/114, Al Ishabah VIII/243 dan Al-Hilyah II/59 dan 60).
Akhirnya menikahlah Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah dengan mahar yang teramat mulia, yaitu Islam.
Tsabit, seorang perawi hadits berkata, dari Anas radhiyallahu ‘anhu, “Tidaklah aku mendengar ada seorang wanita yang lebih mulia maharnya dari pada Ummu Sulaim yang mana maharnya adalah al-Islam.”
Semoga kisah ini menjadi sesuatu yang berarti dalam kehidupan kita dan menjadi jalan untuk meluruskan pandangan kita yang mungkin keliru dalam memaknai mahar. Selain itu, semoga kisah ini menjadi salah satu motivator kita untuk lebih konsisten dengan keislaman kita.
Artikel ini merupakan kumpulan status dari Airiya Rahmadhani di Facebook, semoga bermanfaat dan jangan lupa untuk di share!