Part 3 : Teror Pasangan Pendaki Mistis di Gunung Ciremai

Batu Tatah Gunung Sindoro
Sumber :
  • Viva/Idris Hasibuan

Olret – Cerita sebelumnya bisa kamu baca di Part 2 : Teror Pasangan Pendaki Mistis di Gunung Ciremai

Ketika aku memberanikan diri membuka mata, sosok itu berdiri disana. Bertolak pinggang. Aku masih dalam keadaan jatuh terduduk. Shock. Sosok itu mengeluarkan suara yang anehnya terdengar normal.

"Apa-apaan wey! "

Aku langsung menguasai diri. Sosok ini ternyata manusia biasa. Pendaki! Aku masih bengong tak percaya melihat manusia normal berdiri dihadapanku. Sosok itu bicara lagi, kali ini tangannya menunjuk ke kolong gubuk.

"Apa-apaan. Mie gua jadi ga bisa dimakan wey! "

Aku terpana. Mataku bolak balik melihat sosok itu dan mie yang baru direbus diatas kompor portable kotak. Benar mie itu sudah bercampur tanah merah yang tadi kulempar. Ketika makin tenang, baru aku menyadari sosok itu memang manusia biasa yang memakai kemeja lapangan warna hitam, celana pdl dan sepatu running. Kulihat sekali lagi, sepatu runningnya menapak ke tanah. Dia benar manusia.

Dia menggamit tanganku dan menolongku berdiri. Aku ditatap dari atas ke bawah ke atas lagi.

"Apa-apaan barusan? " Katanya lagi.

"Eh, anu, maaf bang. Saya beneran ngga tau ada orang disini. " Aku meminta maaf.

"Naik berapa orang? " Tanyanya lagi.

"Sendiri." Jawabku.

Sekarang aku bisa melihat dengan jelas orang ini. Tingginya sama denganku. Usianya mungkin menjelang 50 tahun tapi sosoknya nampak lebih muda. Cahaya memantul dari kacamata bulatnya. matanya penuh selidik memandangku.

"Ngga dianjurkan jalan malam sendiri di Ciremai. " Katanya, "emang dapet ijin naik tadi dibawah. "

"Iya bang. Dapet. " Jawabku, sengaja tidak terus terang alasanku naik.

"Ya udah, istirahat dulu aja. Mau mie? Gw masak dulu. Yang tadi harus dibuang gara-gara lu. "

Barulah aku sekarang melihat dengan jelas. Dibelakang gubuk ini dia menggelar matras. Carrier besar berdiri menyandar di tiang kayu.

"Siapa nama lu? Dari mana? " Katanya sambil menyalakan api dikompor.

"Saya Adi bang. Dari Jakarta. Kalo abang? " Jawabku.

Sambil tetap membelakangiku, sibuk dengan kompornya dia menjawab "Gw Moka. "

Aku sama sekali tak peduli dia darimana. Aku sangat bersyukur bukan hanya aku sendiri di gunung ini. Rasa aman dan tenang menguasai dadaku. Setelah mie matang. Dia mengeluarkan mangkok plastik dari carriernya. Menuang sebagian mie itu untuk kumakan. Sedang dia sendiri memakan mie tadi langsung dari misting.

Sambil makan dia terus-terusan memperhatikanku. Setelahnya dia mengeluarkan rokok kretek dari kantong bajunya, lalu menghisapnya dalam.

"Jadi lu orangnya ya.. " Katanya, seakan berbicara pada diri sendiri.

"Gimana bang maksudnya? " Tanyaku, tak yakin arah pertanyaannya.

Dia memandangku dengan tatapan kesal. "Kalian tuh semua pendaki sama aja. Bisanya cuma ngotorin gunung. Ngga punya rasa hormat. "

Aku terperangah "abang udah tau ya.. "

"Mak Ncep nitipin lu ke gua. Dia yang cerita semua. Mulai dari sini sampe atas lu bareng gw. " Katanya lagi

"Mak Ncep? Mak Ncep siapa bang? " Tanyaku bingung.

"Bocah emang ngga ada hormat-hormatnya sama orang tua. Mak Ncep yang dari kemarin nolongin lu sama temen lu. Kalo ngga ada Mak Ncep, temen cewe lu pasti udah lewat dibawa ke alam lain. " Jawabnya ketus.

Rupanya ibu tua yang terus-terusan menjaga Ayu di Cibunar itu namanya Mak Ncep. Aku memang sama sekali tidak bertanya nama Ibu tua itu, juga bapak yang menjagaku. Ada rasa menyesal menyadari betapa kurangnya sopan santunku pada orang yang sudah beberapa hari ini menolongku dan Ayu.

"Mak Ncep juga yang ngejagain lu ngelewatin hutan pinus. Makanya lu bisa aman sampe sini. Kalo ngga lu bisa dimakan setan penganten tadi. " "Tapi saya jalan sendiri tadi bang. Mak Ncep? Setan penganten? " Aku bertanya bingung.

Tapi dia tidak menjawab. Dia cuma tersenyum sinis sambil membereskan carriernya. Aku bergidik mengingat rasa dingin yang menjalari tengkukku tadi. Mungkin setan penganten itu tadi benar-benar ada dibelakangku. Selesai packing carrier, dia berjongkok dan berkata serius.

"Mulai dari sini perjalanan kita ngga akan gampang. Lu cukup ngikutin gw. Baca doa-doa yang lu tau. Pikiran jangan kosong. "

"I.. Iya bang." Jawabku.

"Kita bakal disambut semua penghuni Ciremai. Dari yang bentuknya abstrak sampe solid. Dari yang nyaru jadi manusia sampe yang mukanya berantakan. Siapin mental lu. Kalo lu ngga selamat disini, temen lu dibawah juga ngga bakal selamat. "

"Iya bang. " Jawabku lagi.

"Lu inget dua ini : kalo tiba-tiba muncul suara gending gamelan. Apapun yang terjadi kita harus diam. Jangan bergerak. Paham lu? "

"I.. Iya bang. Yang keduanya apa bang? "

"Lu bakal ngeliat banyak penampakan nanti. Tapi ada satu penampakan yang paling berbahaya. Penampakan Kalong wewe! "

"I.. Itu yang gimana bang? Terus saya harus gimana kalo ada gituan? " Pikiranku langsung kalut.

"Kalong wewe itu bentuknya perempuan telanjang. Rambutnya awut-awutan. Lehernya miring kayak patah, lidahnya ngejulur keluar. Tetenya panjang ngegantung sampe ke paha. Aku menelan ludah membayangkan sosok itu.

" Kalo dia muncul. Lu harus pura-pura ngga liat. Apapun yang dia lakukan walau mukanya nempel dimuka lu, lu harus pura-pura ngga liat. Kalo ngga... "

"Kalo ngga gimana bang... "

"Kalo dia sampe tau lu bisa liat dia. Lu bakal ditarik keatas pohon, artinya lu ditarik ke alamnya. Dan lu ga bakal bisa balik lagi."

"I.. I... Iya bang. " Badanku mulai gemetar.

"Yah doa aja makhluk itu ngga muncul. Susah nolong orang yang udah diculik Kalong wewe. Lu harus waspada kalo lu nyium bau khasnya. kalo bau itu muncul, kemunculannya dijamin pasti. "

"Bau apa bang? " Tanya ku.

"Bau pandan." 

******

Aku melirik ngeri ke tanjakan yang akan kami lalui. Kabut tebal mengambang diujung tanjakan itu seakan gerbang masuk menuju dunia antah berantah. Orang ini memanggul carriernya dan langsung berjalan.

Sambil mengucap Bismillah aku juga berjalan dibelakangnya. Masuk kedalam kabut. Aura mistis langsung membekapku. Suasana kelewat hening. Tidak ada satu pun suara binatang malam.

Yang terdengar hanya suara langkah kaki dan nafasku yang semakin berat. Tapi kehadiran orang ini sungguh membuat banyak perbedaan dibanding awal jalan tadi di Cibunar. Sekarang aku mulai berani melihat sekeliling. Kegelapan bagai selimut dihutan ini. Pekat dan mencekik. Pohon pohon tinggi dan kurus mencuat di mana-mana. Satu dua bayangan pohon besar raksasa muncul diantara tirai kabut. Dan semak semakin meninggi.

Tiba-tiba orang itu berhenti mendadak. Dia lalu bicara tanpa menoleh ke arahku, "pikiran jangan kosong. Mulai baca-baca." nDari jauh kulihat sesuatu bergerak mendekat dengan cepat. Kabut putih bergulung-gulung menabrak kami . Selama sedetik aku bahkan tak bisa melihat tanganku sendiri. Kabut itu hilang dalam sekejap,diikuti rasa dingin seakan memelukku. Tubuhku mulai menggigil.

Orang itu masih berdiri diam ditempatnya. Aku langsung melihat apa yang membuatnya tak bergerak. Seekor kelabang sebesar paha orang dewasa.

Makhluk itu merayap pelan, melintang menghalangi jalur. Buku-buku badannya hitam mengkilat. Sulur dikepalanya bergerak-gerak liar. Aku diam mematung berharap makhluk itu segera hilang. Alih-alih menjauh, kelabang itu malah merayap mendekat. Sulur dikepalanya baru menyentuh betisku ketika tiba-tiba orang itu mengeluarkan parang dan membelah kelabang itu menjadi dua. Sebelah badannya menggelepar liar di tanah, sementara yang sebelah justru merayap ke pahaku. Aku berteriak sejadinya sambil mengibaskan kaki.

Dengan tak acuh orang itu menarik sisa tubuh kelabang dari tubuhku, dibanting nya ke tanah lalu dibuang ke tengah semak.

Dengan muka sebal dia melirikku dari balik kacamata bundarnya,

"malem masih panjang boy, " Katanya sambil berjalan meninggalkanku.

Nafasku hampir habis mengikuti irama jalannya. Walau menggendong carrier segunung tapi langkahnya tampak ringan. Ada sebuah pin menempel di carrier nya, tapi aku tak berhasil membaca tulisannya. Dia mencolek bahuku dan menunjuk keatas. Mataku mengikuti arah yang ditunjuk dan seketika tubuhku bagai tersengat listrik. Di dahan pohon yang paling tinggi nampak sosok perempuan. Kakinya menjuntai ke bawah.

"Kuntilanak." Katanya sambil nyengir.

Kakiku kembali gemetar. Rasanya tak ada tenaga sedikitpun untuk bergerak sekuat apapun kuberusaha. Bukan cuma ada satu, tapi dua. Seketika aku menyadari, sosok itu ada disetiap cabang pohon. Jumlahnya puluhan. Menggantung disana sini. Hanya diam, tak bergerak, tak bersuara.

"Bang.. Tolong. " Bahkan suara yang keluar dari mulutku pun bergetar.

Dia malah tertawa melihatku bersimbah keringat. Dia menggamit lenganku dan mengajakku jalan.

"Cuma begitu aja mereka itu, ngga bisa lebih. Kuntilanak ngga akan nyekek lu apalagi gigit. Bisanya cuma nongol, berharap manusia yang diganggu mentalnya lemah kayak lu. "

Terus terang aku takjub dengan abang ini. Bicara miring tentang hantu tanpa rasa takut sama sekali. Jalan semakin keatas, penampakan muncul di mana-mana. Beberapa bahkan tepat di pinggir jalur.

Bukan hanya Kuntilanak, tapi juga banyak wujud lain. Beberapa wujud muncul dalam keadaan tidak utuh. Ada yang tanpa kepala, ada yang tidak punya rahang, ada yang kepalanya terbelah. Beberapa yang lain muncul dengan organ tubuh yang tidak pada tempatnya.

"Semakin aneh bentuknya, menandakan rendahnya level mereka di dunianya. Yang bisa mereka lakukan cuma muncul dan hilang, muncul dan hilang, begitu terus. Kalo lu takut dengan godaan makhluk level rendah ini, itu menandakan rendahnya level iman lu boy. " Ucap orang itu tenang.

"Sebaliknya, semakin sempurna bentuknya. Menandakan semakin tinggi levelnya. Makhluk-mahkluk model begini yang wajib diwaspadai. Bukan cuma bentuknya, tapi juga pakaian, tingkah laku dan tutur katanya. Setan-setan yang paling baik adalah setan-setan yang paling berbahaya boy. " Sambung orang itu, "kadang makin sulit membedakan manusia dengan setan. "

Dari belakang kulihat dia menyalakan rokok. Asapnya terlihat mengebul tipis. Bahkan dia bisa berjalan sambil merokok, pikirku. Stamina orang ini luar biasa. Kuntilanak yang berdiri terlalu dekat dijalur disembur dengan asap rokoknya, dan menghilang.

"Dari dulu di gunung ini sudah tidak terhitung banyaknya pendaki yang hilang. Tiap generasi ngga pernah kekurangan orang-orang ngga punya etika kayak lu dan temen lu." Orang itu ngomel sendiri, "nyampah, zinah, berisik, ngomong sembarangan, nantang-nantang. "

Di sebuah persimpangan kami berhenti. Jalan disebelah kanan tampak sudah lama tidak lewati. Bebatuannya berlumut, tanda jarang diinjak orang. Jalan yang sebelah kiri terbuka lebar, jalurnya tampak jelas sering dilalui.

"Kalo lu terpaksa sendiri, jalan mana yang lu pilih? " Tanya orang itu padaku.

"Kiri." Jawabku dengan cepat.

"Lu mati " Kata orang itu, "jalan sebelah kiri ini ngga pernah ada. Dibalik semak-semak ini cuma jurang. Kuburan buat banyak pendaki. "

Aku terkesiap ketika menyadari kami tidak berhenti dipersimpangan. Jalur sebelah kiri yang tadi kulihat, sekarang berubah menjadi semak belukar.

Kami meneruskan jalan. Semakin keatas, penampakan semakin menjadi. Mereka juga semakin berani. Sebuah bayangan hitam menabrak ku dan lewat begitu saja, dan meninggalkan bau amis darah. Bayangan lain meloncat-loncat dari pohon ke pohon. Nafas-nafas berat, kadang menggeram sering kali terdengar. Suara cekikikan, tangisan, suara-suara bayi dan ringkik kuda.

Bau-bauan muncul dan hilang silih berganti. Bau busuk bangkai tercium dari bawah pohon tumbang, digantikan harum melati. Sesekali bau anyir darah menyergap. Orang itu tiba-tiba berhenti mendadak dan memberikanku aba-aba untuk diam. Semua bau-bauan itu hilang mendadak, digantikan bau yang asing. Aku mencoba mengingat-ingat pernah mencium bau ini entah dimana. Bulu kudukku langsung meremang saat kesadaran menyergapku.

Ini bau pandan... ...... kalong wewe........ 

Untuk selanjutnya bisa baca di Part 4 : Teror Pasangan Pendaki Mistis di Gunung Ciremai

Artikel ini merupakan status dari Xaverius Endro di laman facebooknya. Silahkan di ambil himkah dari perjalanan mendaki gunung ciremai.