Menilik soal Laki-laki Gondrong yang Dilabeli Preman di Kampung Saya
- Pixabay
Olret – Memilih berbeda dengan orang lain, bisa saja ada resiko tersendiri yang mungkin kita tanggung seperti halnya tindakan di cemooh atau didiskriminasi. Sama halnya di kampung tempat tinggal saya, bisa dibilang masih kuat pengaruh pemikiran dari orang pendahulu. Semisal, ketika berambut gondrong, maka siap-siap saja dicerita dan dilabeli negatif dengan dogma yang sudah lama. Sehingga memicu timbul sifat merasa asing, karena memang tidak ada yang berambut gondrong di tempat tersebut kecuali perempuannya saja.
Suatu ketika dulu saya pernah gondrong, saat itu waktu masih berada di Majene, Majene adalah tempat kampus saya. Ketika aktif kuliah, saya pun ikut bergabung dengan organisasi kemahasiswaan, saat itulah banyak senior-senior gondrong yang saya jumpai. Pasalnya, saya seakan dihadapkan pada wajah dan dunia baru, mengingat rambut gondrong justru menjadi sahabat yang tidak pernah saya jumpai ketika waktu masih berada di kampung halaman. Bahkan waktu itu, saya sempat berpikir kenapa senior-senior yang gondrong itu, mereka bisa tahan dengan penampilan yang serampangan di tengah kondisi masyarakat fanatik.
Nah, itu persepsi saya waktu awal melihat orang yang berambut gondrong. Sebenarnya wajar saja sih, karena masih terbawa dengan pengaruh dan kondisi waktu masih di kampung, yang jarang melihat orang yang berbeda dengan lingkungan kita. Tapi, seiring berjalannya waktu, pemikiran tersebut dapat juga terkuras setelah sering bersama dengan teman-teman gondrong itu, yang akhirnya mampu membuka paradigma baru tentang orang-orang gondrong.
Pertemanan saya pun dengan orang-orang gondrong semakin bertambah, dan saya juga telah menjadi satu wadah organisasi dengan mereka. Sempat suatu hari, saya mengajaknya berkunjung ke rumah dan sembari dapat mengenal kondisi kampung. Di sisi lain, itu adalah ajang pergi jalan-jalan untuk merefres atas diskusi-diskusi yang sudah dilakukan semalaman, dan tak kalah penting agar dapat menambah tali persaudaraan.
Awal pertama berkunjung, tetangga saya di kampung banyak yang terheran-heran. Timbul anggapan bahwa kenapa saya harus berteman dengan mereka yang gondrong-gondrong itu, di mana penampilan tidak ubahnya seorang preman. Kondisi mereka yang seakan tidak mampu merawat tubuhnya, sehingga muncul persepsi bahwa mereka seperti para penghuni hutan yang baru saja keluar kandang.
Kondisi demikian, jelas merusak toleransi terhadap sesama yang hanya melihat orang gondrong hanya dari penampilan saja. Tanpa mereka mengerti bahwa sebenarnya mahasiswa yang berambut gondrong itu, justru mendapat julukan emas di kampus sebagai mahasiswa yang penuh kritik, sifat senioritas telah melekat dalam dirinya yang tentu mendapat penghormatan dari mahasiswa lain di kampus. Tetapi, beda halnya di kampung saya, justru julukan orang berambut gondrong adalah sebagai seorang preman, pencuri ayam dan penjaga hutan yang tidak mampu merawat tubuhnya.
Anggapan seperti inilah yang mendorong saya untuk ikut juga berambut gondrong, meskipun saya tahu kalau pasti mendapat cemooh dari orang-orang. Ada anggapan bahwa sudah terpengaruh dengan teman-teman yang gondrong itu. Ya, memang terjadi banyak semprotan kata-kata yang datang baik dari anggota keluarga sendiri maupun orang lain. Sehingga, permintaan untuk cukur rambut tidak henti-henti masuk di telinga saya.
Sebenarnya, bagi saya anggapan seperti itu tidak apa-apa juga sih, karena nasihatnya itu juga yang terbaik menurut versi dan pengetahuannya. Pada dasarnya, mereka menginginkan agar saya untuk berpenampilan menarik dan bersih, seperti penampilan para anak kantoran dan yang ada di film-film. Karena pada faktanya, film sinetron sering menampilkan penokohan jahat kepada mereka yang berambut gondrong dan bertato. Apalagi di kampung saya, masyarakatnya termasuk pecinta sinetron dan tidak sedikit juga sudah menjadi korban film sinetron.
Bukan berarti saya tidak cinta pada kampung saya atau ingin mencari-cari kekurangan dari kampung saya itu. Justru karena saking sayangnya saya sehingga kita perlu untuk membuka wawasan secara objektif, kita sebagai manusia tentu tidak boleh menjustifikasi seseorang yang berbeda dengan kelompok kita. Baik itu persoalan suku, agama, penampilan dan golongan.
Walaupun, saya sadari betul kalau di kampung saya masih terikat kuat dengan kultur, budaya, agama dan keluarga dalam satu ikatan dari nenek moyang yang sama. Semacam tidak ada orang lain yang tinggal di kampung saya, dan kalaupun ada tentu mereka harus dapat mengikuti kultur yang sudah tertanam lama itu. Begitu pun dengan penampilan orang gondrong, faktanya bahwa di kampung saya tidak ada orang-orangnya yang gondrong. Maka wajar saja, jika ada yang berambut gondrong akan dilabeli pada dirinya sebagai tindakan penuh kriminalitas termasuk saya juga merasakannya.
Sebenarnya maksud tulisan saya ini, kenapa di daerah lain ketika ada yang berambut gondrong itu sikapnya biasa-biasa saja. Justru sebaliknya, ketika ada berambut gondrong maka pujian sebagai orang hebat pun ia dapatkan, dan itu sangat di dukung jika statusnya sebagai seorang mahasiswa. Sementara di kampung saya, baik itu mahasiswa apalagi kalau bukan mahasiswa, maka akan menjadi bahan perbincangan hangat.