Kisah Saksi Mata yang Melihat Hancurnya Rumah DI Panjaitan Ditembaki Tjakrabirawa
- dokumentasi keluarga DI Panjaitan
Olret VIVA –DI Panjaitan dengan baju seragam tentara kebesarannya turun dari lantai dua rumahnya. Dia menemui pasukan tentara Tjakrabirawa yang telah menembaki rumahnya secara membabi-buta.
DI Panjaitan kemudian minta waktu sebentar untuk berdoa dulu. Namun pasukan Tjakrabirawa yang dipimpin Pelda Jahurup tidak sabar menanti, lalu dengan kejam menembaki DI Panjaitan dengan berondongan peluru hingga tewas.
Donald Izacus Panjaitan yang saat itu menjabat sebagai Asisten IV/Logistik Menpangad, gugur di halaman rumahnya.
Pasukan penculik dari Tjakrabirawa dengan bengis melempar mayat DI Panjaitan ke dalam truk pengangkut, dilihat oleh putrinya Catherine dan istrinya Marieke Tambunan.
DI Panjaitan kemudian dikubur dalam lubang sempit bersama enam perwira Angkatan Darat lainnya di dekat Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah yang kini dikenal sebagai Lubang Buaya.
Meida Saimima Matiur Tambunan orang pertama yang melihat langsung betapa hancurnya rumah DI Panjaitan setelah ditembaki pasukan Tjakrabirawa
Meida adalah adik kandung Marieke Tambunan istri DI Panjaitan. Saat itu Meida sedang berada di Jakarta menemani suaminya Maraden Panggabean (Deputi Men/Pangad untuk wilayah Kalimantan) yang bertugas.
Maraden Panggabean yang kelak menjadi Panglima ABRI dalam buku biografinya "Berjuang dan Mengabdi" memuat cerita istrinya Meida Tambunan saat datang menghampiri rumah DI Panjaitan pada pagi hari 1 Oktober 1965.
Berikut cerita Meida Tambunan saksi mata yang melihat hancurnya rumah DI Panjaitan ditembaki Tjakrabirawa, dinukil dari buku "Berjuang dan Mengabdi".
Bab: Meletusnya Gerakan 30 September (G-30-S)
Setelah pesawat terbang yang membawa suami saya mengangkasa, saya kembali ke mess melalui rute yang sama ketika kami pergi ke lapangan udara.
Saat itu jam menunjukkan pukul 07.00 dan keadaan pun sama saja dengan sewaktu kami lewat sebelumnya. Lapangan Monas dan sepanjang jalan masih ditempati oleh pasukan-pasukan TNI Angkatan Darat dalam keadaan siap tempur.
Di depan Gedung Pusat Telekom beberapa pasukan sedang berjaga-jaga. Setibanya di mess, seorang pembantu dengan muka yang pucat dan suara terputus-putus melaporkan, bahwa Katryn, putri Brigadir Jendral D.I. Panjaitan baru saja datang mencari saya.
Katryn memberitahukan, bahwa rumah mereka telah dikepung dan ditembaki oleh sepasukan tentara yang memakai baret hijau.
Mereka juga telah menembak dan menculik Brigadir Jendral D.I. Panjaitan. Mendengar berita tersebut saya terus menjadi lemas dan sangat cemas, sehingga tanpa disadari tas yang sedang saya pegang terjatuh dari tangan.
Kemudian saya berusaha untuk menghubungi rumah keluarga D.IPanjaitan, tetapi beberapa kali saya coba, telepon tidak dapat bersambung. Kemudian saya putuskan untuk pergi sendiri ke rumah mereka.
Tiba di rumah keluarga Panjaitan, pasukan berbaret hijau sudah tidak ada lagi di tempat. Saya langsung masuk ke dalam rumah. Apa yang saya lihat kemudian, sangat seram dan mengerikan.
Darah berceceran di mana-mana, sebagian tersapu oleh bekas tapak sepatu. Beberapa helai rambut yang melekat pada sepercik otak manusia pun saya jumpai.
Ini menunjukkan, bahwa di tempat itu tadinya ada orang yang dianiaya dan dilukai sehingga mengeluarkan darah; dia kemudian diseret keluar.
Saya duga, bahwa kemenakan dan ipar Brigadir Jendral D.I. Panjaitan yang tidur di lantai bawah yang menjadi korban pertama.
Kemudian, kakak ipar saya Brigadir Jendral D.I. Panjaitan sendiri pun mungkin sekali telah dibunuh juga oleh segerombolan pasukan yang tidak dikenal itu.
Sungguh merupakan suatu peristiwa yang sangat kejam dan yang mengerikan. Hatiku menjadi kecut dan pilu sekali.
Tiba-tiba muncul Katryn dan adiknya; mereka memeluk saya serta dengan tangis menjerit: "Papi ditembak, sudah mati dan diculik".
Setelah agak tenang, atas pertanyaan saya siapa penembak dan penculiknya, bagaimana pula pakaian mereka, Katryn hanya-menjawab "Pakaian loreng hijau dan baret hijau".
Kemudian saya bertanya lagi di mana dan bagaimana keadaan ibunya, mereka menjawab bahwa mama ada di kamar tidur di tingkat atas. Rumah keluarga D.I. Panjaitan bertingkat dua.
Sambil memeluk kedua anak tersebut saya naik ke lantai atas dan langsung menuju kamar tidur yang mereka tunjukkan.
Saya jumpai Ny. D.I. Panjaitan, kakak kandung saya, terlentang di tempat tidur sambil menangis terisak-isak.Terputus-putus dia menyatakan: "Kakakmu sudah mati ditembak dan dibawa".
Sekalipun saya sudah dapat menduga, bahwa suaminya mungkin telah terbunuh, akan tetapi oleh karena belum ada kepastian, saya hanya dapat mengeluarkan kata-kata yang mencoba menghiburnya "Tidak kak, tidak, kakak itu belum meninggal".
Saya memeluknya, berusaha dengan sekuat tenaga untuk memelihara ketenangan saya sendiri, tetapi akhirnya kami berdua tersedu-sedu juga di tempat tidur itu.
Sambil menangis terisak-isak, kakak menceritakan, bahwa dia sendiri bersama-sama dengan anak-anaknya, dari celah-celah jendela ruangan atas, telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, saat-saat yang mengerikan di mana kakak ipar Brigadir Jendral D.I.Panjaitan secara ksatria dan berpakaian lengkap militer turun ke lantai bawah, sempat berrdoa akan tetapi kemudian begitu saja ditembak di halaman depan garasi.
Mereka telah melihat juga, bahwa suami dan ayah mereka yang tercinta, dilemparkan begitu saja dalam truk dan dibawa entah ke mana.
Saya selanjutnya memperoleh penjelasan, bahwa seorang kemenakan kakak ipar D.I.Panjaitan, bernama Albert Naiborhu, juga ditembak di rumah dan meninggal dunia seketika. (Almarhum dimakamkan berdampingan dengan almarhum D.I. Panjaitan di Taman Makam Pahlawan Kalibata).
Seorang lagi, yakni ipar D.I. Panjaitan, bernama Victor Naiborhu, seorang asisten apoteker dicederai dan menjadi cacat seumur hidup.
Saya memeriksa kamar tidur di mana kedua pemuda ini ditembak. Penembakan dilakukan secara membabi-buta pada saat mereka masih tidur lelap.
Kamar tersebut penuh dengan ceceran darah, dan seluruh isinya berantakan kena tembakan. Rumah bagian bawah mengalami nasib yang sama. Kaca jendela bagian depan dan lampu-lampu
dihancurkan, dan plafon rumah berlubang-lubang kena tembakan. Slongsong peluru berserakan di mana-mana. Berdasarkan berita bahwa pasukan yang melakukan tembakan dan penculikan terhadap Brigadir Jendral D.I. Panjaitan, memakai seragam loreng hiiau dan memakai baret hijau,
saya bertanya dalam hati, apakah mungkin ada perselisihan di antara sesama TNI Angkatan Darat yang begitu memuncak, sehingga terjadi tembak-menembak?
Saya segera berusaha untuk mencari suami saya, apalagi setelah mendengar berita, bahwa masih ada beberapa orang perwira tinggi TNI Angkatan Darat lain yang ditembak dan diculik.