Semangat Tutus Setiawan Sebagai Lentera Bagi Penyandang Disabilitas Tunanetra
- viva.co.id
Olret –Gelap, lemah dan tak berdaya, itulah pandangan kebanyakan orang pada mereka yang memiliki disabilitas tunanetra. Bahkan kekurangan itu pula yang membuat orang lain enggan untuk menjalin kerja sama dan memberikan pekerjaan yang layak.
Anggapan, apakah mereka mampu? apakah mereka tidak akan berbalik menyusahkan? Masih mengakar dalam pikiran sebagian besar masyarakat.
Diskriminasi ini tentu saja menjadi penghambat penyandang Disabilitas Tunanetra untuk bergerak maju dan membuktikan kualitas diri.
Namun, semua itu akhirnya terbantahkan dengan semangat yang dimiliki Tutus Setiawan (42), penyandang tuna netra sejak usia 8 tahun dan sudah menyelesaikan pendidikan S2-nya di Unesa (Universitas Negeri Surabaya).
Bagaikan lentera di tengah gelapnya dunia penyandang tunanetra, Tutus membuktikan jika penyandang disabilitas tunanetra dapat bekerja dan beraktivitas dengan baik selayaknya orang normal. Dan tentu saja meraih impian tanpa dipandang sebelah mata lagi.
Mereka tidak hanya bisa bekerja sektor informal seperti tukang pijat, menjadi guru atau pemain musik. Namun juga punya potensi lebih untuk berkarier di bidang-bidang yang lebih luas.
Impian tersebut direalisasikan dengan mendirikan LPT (Lembaga Pemberdayaan Tunanetra) bersama 4 orang temannya sesama tuna netra, yaitu Sugi Hermanto, Atung Yunarto, Tantri Maharani dan Yoto Pribadi sejak tahun 2003 silam.
LPT ini menjadi wadah bagi tunanetra di Surabaya untuk terus belajar dan berlatih meningkatkan kemampuannya agar bisa eksis di masyarakat.
Lewat LPT, Penyandang Tuna Netra Tidak Perlu Merasa Insecure Pada Keterbatasannya Lagi
Sebenarnya bukan hanya dogma negatif masyarakat yang menyebabkan ruang gerak penyandang tunanetra terbatas. Rasa insecure dan pikiran negatif pada keterbatasan sendiri yang membuat mereka ragu untuk bergerak maju.
Hal ini pulalah yang ingin diubah Tutus lewat LPT (Lembaga Pemberdayaan Tunanetra) yang dia dirikan.
Lewat lembaga tersebut, penyandang tunanetra dapat belajar dan berlatih dalam meningkatkan kemampuannya, baik untuk hidup dimasyarakat juga untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Di sana, mereka berlatih menggunakan tongkat yang benar, berjalan di tempat umum, menyeberang jalan, naik kereta, naik angkot, agar tak perlu bergantung pada orang lain.
Ada juga yang diajari menggunakan komputer agar bisa melihat luasnya dunia maya, serta meningkatkan ilmu teknologi informasi. Tak lupa, mereka juga dilatih mentalnya agar mudah beradaptasi di masyarakat.
Bagi Tutus, mendidik anak-anak tunanetra memiliki keistimewaan tersendiri. Sebab dari situ ia tertantang untuk mengasah kreativitas menciptakan metode dan media pembelajaran yang tepat. Seperti alat-alat peraga timbul yang bisa diraba, serta memanfaatkan indra-indra lain yang masih berfungsi normal.
Jadi rasa insecure karena keterbatasan yang dimiliki bisa ditekan dan bisa lebih mencintai diri sendiri. Mereka juga bisa melihat dan mengembangkan potensi besar dalam dirinya.
Hasilnya sendiri sudah terlihat dan begitu luar biasa. Contohnya, Alfian (24), salah satu anggota LPT rajin berlatih dan mendalami teknologi informasi di LPT berhasil menjadi Juara II dalam ajang Global IT Challenge di Jakarta saat masih kelas 3 IPS SMA Negeri 8 Surabaya 2016 lalu.
LPT ini juga bersifat sukarela, mereka memberikan bimbingan belajar juga pelatihan khusus untuk tunanetra tanpa dipungut biaya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Tutus bekerja di Sekolah Luar Biasa Tipe A Yayasan Pendidikan Anak Buta (SLB-A YPAB), Surabaya.
Semangat Tutus dan Kawan-Kawan Tak Pernah Padam Untuk Memenuhi Hak Disabilitas Tunanetra
Hingga kini, semangat Tutus Setiawan dan kawan-kawan tidak pernah padam untuk terus menyuarakan hak disabilitas tunanetra di masyarakat.
Selain membentuk LPT (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat), Sabtu (3/12) lalu di Yayasan Pendidikan Anak Buta (YPAB) mereka resmi mendirikan Radio Braille Surabaya.
Pendirian media inklusif pertama di Surabaya bertujuan untuk menyampaikan isu terkait hak disabilitas tak lagi harus secara tatap muka atau luring.
”Media memiliki peran penting untuk membawa aspirasi. Supaya tidak hanya diperhatikan saat menang lomba saja. Padahal, banyak aspek yang bisa dieksplorasi,’’ ucap Pemred RBS Tutus Setiawan (19/12).
Semangat Tutus ini harusnya menjadi inspirasi perubahan bagi siapa saja, baik masyarakat normal maupun disabilitas.
Sebagaimana yang pernah disampaikan Aloysia Vira Herawati (41), staf peneliti Pusat Hak Azasi Manusia Universitas Surabaya (Ubaya), meski memiliki keterbatasan fisik dan sosial, Tutus dan kawan kawan punya semangat kemandirian serta perubahan.
Sehingga dia memang layak untuk mendapatkan apresiasi dan dukungan dari berbagai pihak, salah satunya Tutus Setiawan pernah meraih SATU Indonesia Award dari Astra 2015 lalu.
Dari Tutus Setiawan, kita belajar bahwa keterbatasan bukanlah penghambat kesuksesan. Cintai diri sendiri, maka kesempatan dan jalan untuk maju pasti terbuka lebar.