Yang Memutuskan Tepat Atau Tidak Jodohmu Adalah Tuhan, Bukan Mulut Tetangga
Olret – Sebagian orang mencari pasangan yang tepat untuk menggenapi hidupnya. Memilah-milih apakah seseorang tepat atau tidak untuk menghabiskan sisa usia bersamanya, merasa bahwa dirinya punya sepenuhnya hak untuk menentukan siapa jodohnya.
Lupa bahwa yang memutuskan tepat atau tidak tepat untuk perkara jodoh itu Tuhan yang Maha Tahu, bukan kita yang egois dan banyak maunya ini. Belum mengerti bahwa kita akan benar-benar tahu seseorang itu tepat atau tidak untuk kita, setelah kita hidup menggenap dengan orang itu.
Bukan dengan menerka-nerka apakah orang itu tepat atau tidak. Jikapun setelah menggenap kita merasa kurang tepat, kita punya banyak cara untuk memperbaikinya, untuk menjadikan rumah tangga kita jadi lebih baik, untuk membuktikan bahwa kita dan pasangan kita memang pasangan yang tepat, dan karena itulah Tuhan mempertemukan dan menjodohkan sepasang manusia. Kita dan pasangan kita. [Kutipan Buku Genap]
Kini Aku Mengerti, Cinta Tak Selalu Benar dan Tak Selalu Membahagiakan. Kadangkala Salah dan Menyengsarakan.
Harusnya aku bisa bersikap adil, untuk memikirkan dan menyaring mana yang baik mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah, dari mulut siapapun perkataan itu keluar.
Termasuk perkataan dari mulutmu. Orang yang pernah aku cinta. Dulu. Kini aku mengerti, cinta tak selalu benar, kadangkala salah. Kini aku paham cinta tak selalu membahagiakan, kadang malah menyengsarakan.
Tidak Selalu Mudah Memang, Tapi Semoga Selalu Indah.
Trimakasih untuk selalu ada, untuk kesabaran yang tak pernah habis, untuk saling bermetamorfosa dengan proses yang tak selalu mudah, tapi selalu indah. Tak apalah kita berubah, seperti apapun, bermetamorfosa menjadi seseorang yang dibutuhkan atau diharuskan, selama kita tetap bisa menjadi diri kita sendiri, selama kita bisa saling bertanggungjawab, selama kita bisa saling menyadari dan merasakan; bahwa aku selalu menjadi bagian dari diri kamu. Begitupun sebaliknya. [Kutipan Buku Genap]
Semakin Besar Pegorbanan yang Kita Lakukan, Seharusnya Semakin Bahagia Kita Dibuatnya. Bukan Malah Kesal Apalagi Terbebani.
Aku pikir aku sudah banyak berkorban untukmu. Tapi ternyata belum. Karena jika sudah, harusnya aku tak perlu repot-repot menuntut agar kamu bersedia menjadikanku rumah, tempat paling nyaman yang kamu punya. Karena jika pengorbanan sudah diikuti dengan harapan akan balasan, namanya bukan pengorbanan lagi, bukan? Karena jika sudah, harusnya aku diselimuti dengan kebahagiaan hasil pengorbanan itu sendiri, bukan malah terbebani dengan rasa kesal yang tak terungkap atau kecewa yang terpendam. [Kutipan Buku Genap]