Anjuran Menikah Sebagai Sunah Nabi, Tak Menikah Bukan Umat Nabi?
- Google Image
Melalui sejumlah hadist di atas, dapat kita lacak secara tekstual bahwa nikah dalam perspektif Islam itu dianjurkan karena merupakan sunnahnya para nabi. Namun, apakah kata “sunnah” yang dimaksud dalam hadist tersebut berindikasi kepada “sunnah secara hukum” seperti halnya hukum wajib pada shalat, dan hukum haram pada minum khamr?
Untuk memahami lafadz yang ada pada hadist, pada zaman ini kita tentunya tidak boleh terburu-buru mengambil kesimpulan sendiri. Metode yang ideal dan bahkan menjadi wajib bagi kita sekarang adalah memahami teks hadist melalui penjelasan para ulama. Maka jika mengutip penjelasan ulama tentang konsep nikah sebagai sunnah para nabi, dapat kita fahami sebagai berikut:
1. Al-Hafidh Muhammad Abdurrohman bin Abdurrohim Al-Mubarokfuri dalam kitabnya tuhfatul ahwadzi menjelaskan hadist tentang empat sunnah para nabi yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi. Beliau mengatakan bahwa sunnah yang termaktub dalam hadist tersebut dimaknai dengan karakteristik atau bagian dari jalan hidup yang dibiasakan oleh mayoritas para nabi. (Abul ala Muhammad Abdurrohman bin Abdurrohim Al-Mubarokfuri. Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ At Tirmidzi. Darul Kutub Ilmiyah. Beirut. Hal 4/166)
2. Dalam kitab Al badru Tamam yang menjelaskan tentang hadist dari bulughul maram dikatakan bahwa yang dimaksud dengan sunnah para nabi dalam bab pernikahan adalah jalan hidup bukan bermakna antonim dari wajib.
Maka menikah dalam hal ini adalah bagian dari jalan hidup nabi, dan barangsiapa dengan terang-terangan membenci pernikahan, menolak kenyataan disyariatkannya menikah, lalu mengambil jalan yang haram di luar nikah, golongan inilah yang kemudian tidak dianggap sebagai ummatnya nabi Muhammad SAW
Tidak Menikah Berarti Bukan Umat Nabi ?
Akan sangat rentan kepada kekeliruan jika lagi-lagi kita tekstualis dalam memahami redaksi hadist apalagi yang mengarah kepada konsekuensi hukum. Maka dalam rangka menghindari kesalahfahaman terhadap maksud daripada dalil, kita kutip kembali penafsiran para ulama terkait hal ini.