Part 1 : Teror Gunung Dempo Pagar Alam Sumatra Selatan
- Youtube
Malam semakin pekat. Tak dapat lagi kami bedakan mana tanah dan mana langit. Puncak Merapi hanya terlihat sekilas ketika petir menyambar. Setelahnya kembali hanya kegelapan.
Bang Idan akhirnya mengambil keputusan untuk turun. Semakin lama kami diam ditempat tanpa tenda akan semakin berbahaya. Apa lagi kami masih harus melewati Puncak dempo untuk turun. Belum lagi suhu dingin ditambah hujan rintik, hypothermia bisa menerkam kami kapan saja.
Kami berjalan pelan. Jalanan berbatu kearah puncak Dempo menjadi licin akibat hujan. Kami harus berhati-hati. Bang Amran berjalan di depan sambil mengarahkan senternya memperhatikan jalur yang kian menanjak. Di belakangnya mengekor adalah aku, Yuni, Ale dan Anes. Senter satu lagi kuserahkan pada Bang Idan yang berjalan paling belakang.
Petir yang Menyambar Cantigi Manggangu Konsentrasiku dan Jantungku Pun Hampir Copot Rasanya.
Aku sedang konsentrasi pada nafasku ketika tiba-tiba petir menyambar pucuk pohon cantigi di belakang kami. Jantungku hampir copot karena kaget. Sebuah titik api terlihat di bekas sambaran petir tadi sebelum akhirnya hilang tersiram hujan. Kami semua saling berpandangan tanpa berkata apa-apa. Belum juga hilang rasa kaget kami, sebuah petir yang lain menyambar pohon cantigi yang lebih dekat.
Lalu petir yang lain menyambar sebuah batu besar yang jaraknya lebih dekat lagi. Batu itu langsung terbelah dan terbakar api. Jantungku berderap kencang. Firasat ku mengatakan ada sesuatu yang salah. Instingku berteriak-teriak agar aku cepat lari dari situ. Petir-petir ini mengejar kami!!
Dan tanpa komando lagi, kami semua berlarian dengan panik semampu yang kami bisa. Petir- petir terus menyambar di belakang kami, semakin mendekat. Tiap kali suaranya menggelegar jantungku seakan berhenti berdetak. Dalam kepanikan itu sesekali kudengar isak tangis Yuni yang ketakutan.
Lalu sebuah tiang cahaya putih raksasa menghunjam beberapa meter di depan kami. Aku pasrah. Petir sedekat ini, aku tak mungkin selamat.
Tapi itu bukan petir.
Di depan kami, hanya beberapa meter jauhnya, adalah seorang perempuan cantik bergaun putih. Matanya menatap kami penuh kebencian. Mimik wajahnya terlihat sangat marah.