Orang yang Bunuh Diri Caper dan Kurang Iman? Berikut 8 Fakta v.s Stigma Seseorang Nekat Bunuh Diri
- freepik.com
Olret – Masih banyak stigma seputar kesehatan mental dan bunuh diri yang beredar di masyarakat. Tidak heran jika banyak informasi dan pemahaman mengenai bunuh diri di tengah masyarakat yang tidak benar atau sesat, menjadi mitos yang berulang-ulang.
Padahal, informasi yang salah dan stigma justru dapat memperburuk kondisi kesehatan mental publik. Orang yang benar-benar membutuhkan bantuan terkait dengan kondisi kesehatan mental mereka cenderung takut untuk mencari pertolongan karena tidak ingin dihakimi atau distigma.
Informasi dan pemahaman mengenai bunuh diri yang tidak tepat juga menyebabkan orang dapat mengambil tindakan yang salah dan dapat berakibat serius, sekalipun orang tersebut mungkin memiliki itikad yang baik (sc: intothelightid.org). Melansir dari Living with Meaning, berikut 8 fakta mengenai seseorang yang nekat melakukan bunuh diri.
1. Orang dengan kecenderungan bunuh diri sungguh-sungguh ingin mati
Fakta: Teori yang dikemukakan Baumeister. Roy F (Suicide as Escape from Self Psychological Review 1990), justru berpendapat bahwa bunuh diri adalah cara seseorang yang hendak lari dari rasa sakit yang berlebihan, sehingga kematian dilihat sebagai satu-satunya solusi. Ini artinya, orang yang ingin bunuh diri sesungguhnya masih punya keinginan untuk hidup, apabila ia dapat menemukan cara untuk mengurangi atau menghentikan rasa sakit yang dialaminya.
2. Stigma orang yang berusaha untuk mengakhiri hidupnya hanya ingin mencari perhatian
Faktanya, saat seorang mengalami rasa sakit yang terlampau besar, ia akan kehilangan kemampuan untuk mengatur emosi negatif. Ini menyebabkan cara seseorang menunjukkan perilaku bunuh diri dapat muncul dalam beragam bentuk apapun, sehingga cara yang terlihat diumbar ke publik pun dapat dianggap sebagai aksi cari perhatian oleh orang yang tidak paham.
3. Stigma pemikiran bunuh diri disebabkan karena kerasukan jin atau makhluk gaib
Faktanya, perilaku bunuh diri tidak disebabkan karena hal-hal berbau mistis atau gaib. Tidak hanya itu, membawa orang yang mengalami gangguan jiwa ke dukun atau paranormal, tidak akan menyembuhkan seseorang dari gangguan kejiwaan. Pemikiran bunuh diri muncul disebabkan karena beragam faktor biologis, psikologis, dan sosial yang saling berkaitan satu sama lain dan mempengaruhi pertimbangan seseorang untuk memikirkan atau mencoba bunuh diri.
4. Seseorang bunuh diri pasti disebabkan oleh suatu peristiwa tertentu (seperti putus cinta atau faktor ekonomi)
Fakta: Banyak ahli berpendapat, bahwa penyebab seseorang mencoba atau melakukan bunuh diri tidaklah sesederhana itu. Bunuh diri disebabkan karena seseorang terpapar dengan beragam faktor risiko (biologis, psikologis dan sosial) yang saling berkaitan satu sama lain. Oleh karena itu, kita juga perlu berhati-hati untuk tidak terlalu cepat menyimpulkan, menduga-duga, atau berasumsi mengenai penyebab bunuh diri seseorang. Banyak faktor risiko atau "peristiwa" yang dialami seseorang namun tidak dapat kita ketahui, terlebih apabila orang itu tidak mengungkapkan apa saja yang menjadi beban atau masalah yang ia hadapi.
5. Orang beriman atau beragama tidak mungkin akan bunuh diri
Fakta: Agama merupakan satu faktor pencegah bunuh diri. Kepercayaan seseorang dengan Tuhan dapat menjadi salah satu motivasi seseorang untuk bertahan hidup dan tetap memiliki harapan. Berdoa dan aktif dalam kegiatan rohani juga dapat membantu menjaga kesehatan mental seseorang, begitupun komunitas keagamaan dapat membantu memberikan dukungan kepada orang tersebut di luar kegiatan ibadah. Namun, faktor pencegah tersebut mungkin tidak lagi dapat membantu ketika tingkat krisis atau tekanan yang dihadapinya sudah terlalu tinggi, sehingga orang tersebut akan menolak makna-makna kehidupan yang diajarkan oleh agama atau sumber lainnya (cognitive deconstruction).
6. Orang yang hendak bunuh diri tidak akan membicarakan mengenai keinginanya
Fakta: Hampir semua orang yang hendak bunuh diri menunjukkan tanda-tanda peringatan bunuh diri, misalnya melalui peringatan tertentu, kegiatan yang menunjukkan keinginan bunuh diri, atau perubahan perilaku/tampilan yang kasat mata. Beberapa orang juga dapat menunjukkan tanda-tanda yang sifatnya tidak langsung dapat dikenali, seperti menarik diri dari kegiatan atau pergaulan. Beberapa orang mungkin seolah-olah tidak menunjukkan tanda-tanda peringatan apapun. Dengan mempelajari tanda-tanda peringatan bunuh diri dan bagaimana cara menanganinya, kita dapat melatih diri kita untuk lebih peka terhadap tanda-tanda yang tersirat.
7. Stigma laki-laki biasanya tidak emosional sehingga lebih jarang melakukan bunuh diri
Faktanya, di Indonesia jumlah laki-laki yang meninggal karena bunuh diri diperkirakan tiga kali lebih banyak dibandingkan perempuan. Pandangan bahwa laki-laki harus kuat, tahan banting, tidak boleh lemah, tidak boleh menangis, dan sebagainya, sering kali menyebabkan laki-laki lebih sulit untuk memperoleh bantuan atau takut untuk mencari bantuan (terutama apabila ia mengalami masalah serius). Hal ini menyebabkan laki-laki cenderung mencari cara yang lebih agresif untuk bunuh diri, terlebih jika di dalam masyarakat laki-laki memiliki banyak akses ke benda atau tempat tertentu yang mematikan.
8. Stigma orang yang bunuh diri pasti memiliki gangguan jiwa sebelumnya
Fakta: Studi dari CDC (Center for Disease Control and prevention suicide) menunjukkan lebih dari 50% orang yang melakukan bunuh diri tidak pernah mengalami riwayat gangguan kejiwaan yang diketahui sebelumnya. Selain itu, WHO juga menyatakan bahwa meskipun depresi merupakan salah satu faktor risiko bunuh diri yang signifikan, tetapi gangguan jiwa tidak selalu hadir dalam setiap kasus bunuh diri, dan tidak semua orang dengan gangguan jiwa selalu berpikiran untuk bunuh diri.
Jika kamu atau seseorang yang kamu kenal berada dalam kondisi berbahaya yang mengancam keselamatan nyawa, segera telepon nomor layanan darurat 119 (ext. 8) atau menuju ke IGD di RS terdekat.