Kisah Nyata (Part 1): Angkernya Jalur Dukuh Liwung Gunung Slamet
Waktu sudah menunjukkan sore hari, kami pun bergegas mengemasi barang kami untuk melakukan pendakian. Nantinya kami akan ditemani oleh Pak Sakri penduduk asli Desa ini dan masih satu keluarga dengan si Mbah.
Sebelumnya kami sebenarnya tidak berniat memakai jasa porter atau sejenisnya, karena kami tidak pernah melakukan itu dipendakian-pendakian kami sebelumnya, namun dari cerita si Mbah, si mbah menyarankan agar kami ditemani anaknya minimal sampai Pos 2, karena jalur ini masih jarang dilewati dan banyak sekali jalur bercabang yang bisa membuat kami bingung dan bisa jadi membuat kami tersesat. Akhirnya kami setuju, karena kami pun tidak mau ambil resiko jika yang dikatakan si mbah adalah benar adanya.
Akhirnya setelah selesai berkemas dan berpamitan pada si Mbah dan keluarganya, seperti biasa tidak lupa pula kami memanjatkan doa mohon keselamatan kepada Allah SWT untuk pendakian kami kali ini, setelahnya barulah kami mulai menapaki jalur pendakian legenda ini.
Awal perjalanan kami disambut kebun-kebun warga, yang tertata rapih khas pedesaan. Melalui tanah lapang dimana ada tugu batas desa ini disana.
Lalu kami disambut kebun Karet yang pohonnya menjulang tinggi berjejer rapih seolah mengucapkan selamat datang pada kami semua. Selepas melewati kebun karet, kembali kami menemui perkebunan warga, dan disanalah kami menemui Pak Sakri untuk pertama kali nya. Pak Sakri seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, usianya mungkin kurang lebih 40 tahun, tubuhnya kurus namun berotot khas penduduk desa yang suka bekerja keras. Pekerjaan hari-hari beliau adalah berkebun, sama seperti penduduk lain desa ini.
Setelah berkenalan dan berbincang sebentar, kami menunggu Pak Sakri bersiap-siap. Pak Sakri sebenarnya bukan porter yang seharusnya menemani kami, tapi anak Mbah yang satunya yang mengantarkan kami bertemu Pak Sakri ini lah yang seharusnya menemani kami sampai Pos 2, namun karena satu dan lain hal, akhirnya Pak Sakri menggantikan posisinya.
Perjalanan dimulai kembali dengan Pak Sakri membuka pembatas kebun yang terbuat dari pagar bambu agar kami bisa melewati jalur pendakian ini. Dengan ini jelas mamastikan bahwa jalur ini bukan jalur pendakian umum biasa, namun hanya orang-orang tertentu yang tau keberadaan jalur ini saja yang melewatinya.