Kisah Nyata (Part 4): Angkernya Jalur Dukuh Liwung Gunung Slamet
Tidak terasa, waktu menunjukkan pukul 5 sore, makanan pun sudah terhidang dan siap disantap. Seperti biasa dalam hitungan menit makanan sudah raib tak tersisa, tangan-tangan lapar bagai anacconda bergerak cepat, siap memangsa musuh nya, langsung masuk ke dalam perut mereka.
“Alhamdulillaaahh.. kenyang!.” Kata yang pastinya terucap dari mulut kami semua. Momen makan bersama ini merupakan salah satu saat yang paling nikmat ketika kita melakukan pendakian.
Sesi makan pun usai, kini waktunya kami bersiap untuk melaksanakan Sholat maghrib. Cuaca yang semula mendung, kini tampak kembali normal, langit mulai memerah, matahari hampir kembali ke peraduannya.
Sambil menunggu waktu maghrib tiba, Fahmi menunjukkan hasil foto-foto yang diambilnya bersama Usep tadi. Tidak ada yang tampak aneh diawal, sampai suatu foto yang sedikit mencuri perhatian kami.
Dalam foto terlihat seperti wanita berambut panjang, namun samar-samar dan wajahnya nya pun tidak kelihatan. Padahal foto itu diambil fahmi di dalam goa yang tentu saja tidak ada siapa-siapa disana. Tidak mau memperpanjang situasi mengingat kami masih berada digunung ini, akhirnya kami memutuskan untuk mengabaikan foto itu.
Waktu maghrib pun tiba, kami masuk ke tenda bersiap-siap menunaikan sholat. Usai menunaikan sholat maghrib, sambil menunggu waktu isya kami membuat kopi dan teh untuk menghangatkan tubuh kami dari dinginnya malam yang mulai menusuk-nusuk sampai ke tulang.
Setelah menunaikan sholat isya, dan membersihkan diri dari sisa-sisa keringat hari ini, kami mencoba menikmati indahnya malam ini. Langit mulai gelap, bintang mulai menampakkan kecantikannya, namun keindahan itu tidak bisa lama kami nikmati. Angin dingin yang menembus jaket tebal kami, memaksa kami untuk segera mencari kehangatan di dalam tenda.