Aku Akan Menunggu Kepulanganmu Karena Kamu Adalah Cinta Sejatiku

Ilustrasi Menunggu
Sumber :
  • Pexels/Quốc Bảo

Olret – “Aku pulang ya…” Andrea berpamitan .

“Nggak. Aku mau kamu disini aja.” Sarah meminta dengan sedikit memaksa. Ia menghambur dalam pelukan Andrea

“Kita masih punya banyak hal yang perlu di selesaikan bukan? Dan lagi, pertemuan kita akan terjadi 60 hari ke depan. Kita masih bisa bertemu, Sarah.”  Andrea menjelaskan, melepaskan pelukan.

“60 hari itu lama. Dan aku lelah menunggumu terlalu lama.” Sarah masih merengek.

“Kalau kamu mau menyerah, kita bisa menyudahi ini sekarang, Sarah. Anggap saja ini pertemuan terakhir kita, bagaimana?”

Seketika Sarah terdiam. Ia terlanjur menyayangi Andrea. Tentu ia tak ingin berpisah bahkan tak ingin jika mereka tak pernah bertemu lagi. Sarah mengalah. Ia kemudian duduk di samping Andrea. Menatapnya yang sedang bersiap-siap dengan kopernya.

“Tiketmu jam berapa?” Tanya Sarah kemudian.

“Jam 4 sore.”

“Aku antar ya?” pinta Sarah dengan nada suara tertahan. Ia ingin menangis, tetapi ia tahu jika Andrea tak suka melihatnya menangis.

“Kalau kerjaanmu udah selesai aku bolehin kamu anter aku. Tapi kalau nggak, aku nggak mau.”

Sarah tersenyum. Ia tahu jika waktu bersama Andrea tak lagi banyak hari ini, apalagi ia harus mengajar hingga siang. Ia tak bisa lagi meminta lebih pada Andrea, lalu kini ia memutuskan untuk menikmati sisa waktunya bersama.

Olret – “Aku pulang ya…” Andrea berpamitan .

“Nggak. Aku mau kamu disini aja.” Sarah meminta dengan sedikit memaksa. Ia menghambur dalam pelukan Andrea

“Kita masih punya banyak hal yang perlu di selesaikan bukan? Dan lagi, pertemuan kita akan terjadi 60 hari ke depan. Kita masih bisa bertemu, Sarah.”  Andrea menjelaskan, melepaskan pelukan.

“60 hari itu lama. Dan aku lelah menunggumu terlalu lama.” Sarah masih merengek.

“Kalau kamu mau menyerah, kita bisa menyudahi ini sekarang, Sarah. Anggap saja ini pertemuan terakhir kita, bagaimana?”

Seketika Sarah terdiam. Ia terlanjur menyayangi Andrea. Tentu ia tak ingin berpisah bahkan tak ingin jika mereka tak pernah bertemu lagi. Sarah mengalah. Ia kemudian duduk di samping Andrea. Menatapnya yang sedang bersiap-siap dengan kopernya.

“Tiketmu jam berapa?” Tanya Sarah kemudian.

“Jam 4 sore.”

“Aku antar ya?” pinta Sarah dengan nada suara tertahan. Ia ingin menangis, tetapi ia tahu jika Andrea tak suka melihatnya menangis.

“Kalau kerjaanmu udah selesai aku bolehin kamu anter aku. Tapi kalau nggak, aku nggak mau.”

Sarah tersenyum. Ia tahu jika waktu bersama Andrea tak lagi banyak hari ini, apalagi ia harus mengajar hingga siang. Ia tak bisa lagi meminta lebih pada Andrea, lalu kini ia memutuskan untuk menikmati sisa waktunya bersama.

Sarah kembali dari terminal mengantar Andrea dengan genangan air matanya yang kini tumpah. Susah payah ia menahannya tetapi tetap saja, ia tak mampu. Andrea terlalu berarti baginya kini.

Seorang pria yang mengubah hidupnya satu tahun terakhir. Bertemu secara tidak sengaja saat Andrea berkunjung ke Surabaya, dan Sarah diperkenalkan oleh Beni kepada Andrea.

Andrea membuat hidupnya menjadi memiliki cerita yang berbeda. Sarah tak lagi menghabiskan hidupnya di kampus dengan mengajar atau hanya berada di perpustakaan. S

arah tak lagi menjadi seorang dosen yang kolot dan menyusahkan mahasiswanya. Sarah kini terlihat berbeda. Ia lebih menikmati hari, mencintai dirinya dengan cara yang berbeda, lalu melakukan perjalanan jika ia ingin.

Hari berlalu. Sejak ia berpisah dengan Andrea, Sarah mulai menghitung hari, hingga 60 hari kedepan untuk bertemu dengan Andrea kembali. Ia menjalani hari-harinya lebih bersemangat dari biasanya karena ia yakin jika ia melewati hari dan terasa begitu cepat, secepat itu pula ia akan bertemu dengan Andrea.

Hingga di hari ke 57, surat tugas datang ke meja Sarah. Sarah yang sedang menyiapkan materi pengajaran pun mendongak, menatap sekretaris jurusan yang memberikan surat tugas beramplop coklat itu di meja. Ia mulai merasa tidak enak. Ia pun membuka amplop coklat, berisikan surat tugas dan semua dokumen yang ia perlukan untuk pergi ke Jerman dua hari kemudian.

“Kampus kita di undang dalam acara seminar farmasi tentang obat anti kanker. Karena kami pikir kamu yang cocok untuk berangkat  kesana karena cocok dengan penelitianmu, jadi kami memilih menugaskanmu untuk pergi. Dan kamu disana selama 7 hari termasuk keberangkatan dan pulang.  Tidak keberatan kan?”

Sarah terdiam. Ia ingin menolak.Hanya saja ia tahu, waktunya terlalu singkat untuk pihak birokrasi mengganti orang, mengurus dokumen dari awal. Dengan berat hari Sarah mengiyakan. Itu berarti ia akan menunda pertemuannya dengan Andrea. Sarah merasa kesal karena kini surat tugas ini benar-benar di tangannya. Tetapi ia tahu, Andrea akan tetap mendukungnya jika ia pergi ke Jerman dan menunda pertemuan.

Sarah kembali setelah 7 hari yang terasa lama baginya. Pun ditambah dengan ia yang tak jadi bertemu dengan Andrea karena ia sedang meeting dengan developer besar yang akan memakai jasanya. Sarah hanya menerima ucapan selamat datang dari Andrea melalui pesan singkat.

Ia kemudian menuruni eskalator Bandara dengan malas. Saat ia sedang menatap ke sekeliling, ia menemukan namanya terpampang pada papan yang dipegang supir rumahnya. “Sarah Fransisca.” Padahal Sarah tidak meminta untuk di jemput, tapi ia kemudian tetap melangkahkan kaki ke mobilnya. Ia terlalu lelah untuk bertanya.

Sarah tertidur sepanjang perjalanan. Saat sampai, ia dengan malas untuk turun dan masuk ke dalam rumahnya. Matanya membelalak saat tau siapa yang berdiri tak jauh dari pintu mobilnya. Ia dengan tergesa turun, lalu menghambur, memeluk.

“Selamat datang kembali ibu Profesor Sarah Fransisca.” Andrea mememeluknya dengan erat. Sarah tak bisa berkata apa-apa selain memukul Andrea pelan karena panggilannya barusan. Perasaannya bercampur kesal dan senang ada Andrea dirumahnya.