Kumohon Maafkan Aku, Ternyata Ada Cinta Lain Selain Dirimu

- freepik.com
Olret – Hari itu, aku menyadari. Untuk pertama kalinya, aku membagi rasa. Pada seseorang yang bahkan belum pernah ku tahu wajahnya seperti apa.
Olret – Hari itu, aku menyadari. Untuk pertama kalinya, aku membagi rasa. Pada seseorang yang bahkan belum pernah ku tahu wajahnya seperti apa.
Matahari sedang bergegas pulang. Shift kerjanya sudah hampir habis dan di gantikan dengan bulan. Aku berharap ada bintang yang datang mala mini. Tapi sepertinya, bintang tidak akan mampir lagi. Tertutup mendung.
Atau mungkin, bintang sedang melaksanakan tugasnya di tempat lain. Aku masih memandang keluar. Sesekali ku alihkan tatap ke layar televisi yang entah apa sedang mereka tayangkan. Seperti biasa, aku hanya menyalakan tivi untuk mengusir rasa sepi.
Mataku terpaku pada langit. Yang kini meninggalkan jejak jingga nan cantik. Lalu, sejurus kemudian, aku mengenali aroma ini. Aroma yang sejak beberapa bulan ini menjadi aroma favorit yang sering ku rindui.
Pemiliknya, kini berdiri di muka pintu. Membuka kaca helmnya, tersenyum kemudian. Ia lalu membuka sepatu. Setelah usai, ia menaruh tas gendong di pojok ruang, kemudian duduk disampingku. Kali ini, aku tak lagi menunggu bintang di langit malam. Karena hadirnya, kini memberikan tenang yang di harapkan.
“Kok nggak bilang mau dateng?” tanyaku kemudian.
“Kejutan?” jawabnya singkat.
“Bukan kamu banget deh.”
Tingginya 180cm. Bahkan di SIMnya saja tertulis 187cm. Aku sempat berpikir, dulu ibunya ngidam apa sampai anaknya lahir setinggi ini. Belum lama, aku berpikir tentang ibunya, ponselnya berdering. Ia sedang di kamar mandi. Aku melihat layar dan terbelalak melihat nama yang ada di layar.
“Ka … telpon.” Deringnya mati kemudian.
“Iya. Biar nanti kakak telpon balik. Kayaknya kakak tahu siapa yang telepon.”
Ia meraih ponselnya. Melakukan panggilan kepada si pemilik nama yang tadi sempat menelponnya. Pada dering ke dua, panggilan itu kini sampai pada pemiliknya.
“Kakak dimana?” aku yang duduk tepat disampingnya mendengar begitu jelas pemilik suara yang ada di telpon.
“Mampi dulu, bu. Kenapa? Ibu kangen yaa, baru ditinggal kerja seharian.”
Aku menatapnya sembari memutar bola mata. Sembari ada perasaan tak dapat ku lukiskan betapa aku tiba-tiba merasakan jatuh cinta kepada si pemilik suara di telpon.
“Sholat. Kalau pulang malem makan dulu ya. Ibu nggak masak.”
Obrolan itu tak lama berakhir. Aku yang mendengarkan percakapan ada rasa bahagia yang tertinggal.
“Sering kaya gitu ibu?” tanyaku penasaran.
“Apa? Telpon kaya tadi? Hampir setiap hari kalau kira-kira harusnya aku udah sampai rumah tapi belum ada.”
Bulan kedua aku memutuskan resign. Tentu berakibat kini terbentang jarak 400 km. Ini hari libur. Seketika ada rindu yang menghampiri kepada ibu dan anaknya yang sejak beberapa bulan lalu, kini menjadi seseorang yang sering ku rindui. Ponselku berdering. Mungkin radar rindu ini sampai. Tanpa berlama-lama, aku menggeser tombol hijau pada layar.
“Huuuuuu kangeeen!!! Udah lama nggak denger kamu di telpon sama ibu. Kangen suara ibu jugaaaaa…” sambutku setelah terdengar suaranya di seberang. Ia hanya tertawa cekikian. Bersamanya, aku tak perlu susah payah bermain kode membingungkan. Karena ia juga ingin segalanya disampaikan dengan jelas agar tidak ada kesalahpahaman.
Lama berbicang. Bercerita tentang banyak hal. Dan hari itu, aku tahu bahwa minggu ini ia sedang melewati minggu yang cukup berat.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyaku kemudian. “Maaf ya, nggak disana buat nemenin dan dengerin cerita langsung.”
Belum juga ia menjawab, aku mendengar suara ibu sedang berdendang. Entah lagu apa yang aku bahkan tak begitu mengenali liriknya. Suara kakak yang sempat terdengar sedih, kini kembali seperti biasa. Ia begitu bersemangat hanya karena mendengar ibu bernyanyi. Dan mungkin, tanpa ia tahu, aku tersenyum penuh haru mendengar ibu dan anak ini bercengkrama.
“Ibu bisa update foto?”
Gumamku setelah melihat whatsapp story. Rasa tidak percaya, ketika mengingat umur ibu yang cukup tua, apalagi yang ku tahu ibu hanya bisa melakukan panggilan telpon saja. Aku yang penasaran memilih bertanya.
“Yang update status di nomer ibu, kamu apa ibu?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Ibu kok. Kamu nggak percaya banget kalau itu ibu yang posting. Dan lagi, itu buat kamu lho. Makanya, kapan mau kerumah nengokin ibu?”
Aku mengernyitkan dahi. Ada rasa bahagia saat membaca pesannya. Mengingat ibu menyematkan emoji “tersenyum” pada foto yang ia post di whatsapp story.
Rindu tak bisa ku bendung. Aku memutuskan untuk melakukan panggilan telpon setelah menimbang-nimbang begitu lama. Takut-takut jika waktunya tidak tepat, aku pasti malu karena merasa telah mengganggu.
Hari ini, puasa pertama. Aku memutuskan untuk mengunjunginya setelah pertemuan terakhir. Gayung bersambut. Telponku pada dering pertama kini terbalas dengan suara ibu di seberang sana.
“Ibu, aku mau kerumah, boleh?”
“Boleh. Hati-hati ya di jalan.”
Dan kini, aku duduk di hadapan ibu. Mendengarkan ibu bercerita setelah sekian lama. Aku yang sempat khawatir jika pertemuan pertama akan terasa kaku ternyata berkebalikan. Disambut ibu dengan senyumnya yang hangat, ibu yang bercerita tanpa henti setiap pertemuan kita tiba.
“Ini, jangan lupa di bawa pulang.”
Ibu memberiku sekotak biskuit yang ia sempat post di whatsapp storynya. Aku mengangguk, tersenyum penuh haru. Dan kini, setiap kali, ku buka kotak biskuit itu, menikmati biskuit satu persatu, kurasakan ada cinta ibu.
Semoga ibu panjang umur dan sehat selalu. Hingga waktunya tiba, jika akhir dari kisah kita adalah bersama hingga tua, semoga ibu masih bisa menyaksikan hari bahagia dan cerita kita seterusnya