Semakin Aku Mengenangmu, Semakin Sakit yang Kurasakan Sayang
- Pexels/Palu Malerba
Olret – Kunang-kunang
Oleh : Muhamad Hidayatuloh
Lambang keindahan malam yang kini hanya tinggal cerita. Malam itu aku duduk tanpa alas di emperan bungalow menghadap hamparan kebun teh yang seketika hijau nya hilang ditelan pekat gelapnya malam, hanya menyisakan dingin dan sendu, seperti bibir yang tak mampu berkata-kata ketika melihatmu mulai menjauh, walau hanya untuk sekedar menahanmu agar tetap tinggal, dan tidak pergi.
Disampingku duduk seorang laki-laki tua yang Sehari-hari ku panggil dia Ayah, ia yang seolah sengaja menemani ku menikmati sendu malam ini, ditempat ini. Mungkin dia sedikit banyak paham, anak laki-laki yang sudah melewati masa remaja nya sedang tidak baik-baik saja, terutama soal perasaan.
Dia yang beberapa hari lalu ikut mendengar kabar bahwa wanita yang tempo hari anak laki-laki nya pernah bercerita dan meminta untuk melamarkan nya, telah memilih pergi untuk kemudian berlabuh, di labuhan yang mungkin baru saja ia kenal, namun terlihat luas nan megah.
Satu jam berlalu, tak ada sepatah kalimat pun yang mencoba memecahkan hening di sekeliling dari mulut kami berdua, ntah lah laki-laki tua itu nampaknya menunggu ku untuk memulai cerita.
Dua jam terlewati, suasana masih tetap sama, hanya hatiku yang semakin dalam menikmati lara. Nurani ku hanyut dalam buayan hening nya malam yang sedari tadi memaksa air mata untuk keluar, tapi selalu ku tahan. Sesak setelah sesal ini begitu membuat ku terlihat begitu sangat aneh. Bagaimana tidak, sini jika berkenan lihatlah ke arahku maka kamu akan melihat raga yang masih saja bernafas padahal jiwanya telah mati, lumayan bisa sedikit jadi tontonan untuk menghiburmu yang sedang gugup menanti hari bahagia itu.