Kalian Pernah Dengar Kalau Air Mata Tidak Hanya Penanda Duka?

Cara Mengatasi Kebiasaan Kesepian Dalam Islam
Sumber :
  • ngayap.com

Olret – Jika Suaraku Bisa Menjadi Penyembuh

Masih berkutat dengan kelelahan? Iya. Aku pun sama. Kegiatanku belum berjeda bahkan ketika aku menulis tulisan ini.

Namun, hari ini aku ingin sedikit bercerita. Bukan. Ini bukan tentangku. Namun tentang belajar memahami manusia. Memanusiakan manusia dari segi yang lebih jauh. Dulu, aku hanya mendengar, lelaki dan wanita adalah sama. Sama-sama manusia, tentunya, sehingga mereka memiliki emosi yang nyaris sama. Meski tidak selalu seperti itu.

Mengenal dia membuatku melihat. Ternyata, air mata laki-laki itu halal. Terkadang, mereka membutuhkannya untuk merasa utuh. Merasa mencintai dan memiliki. Jika malam kian pekat dan dia memilih untuk duduk menyendiri di sudut ruang. Tidak mengapa. Kau berhak atas waktumu. Lepaskan semua beban dan menangislah. Itu tidaklah buruk.

Mengenal kamu membuatku sadar. Bahwa umbaran perasaan laki-laki itu valid. Tak jarang, kamu menulis novel kehidupanmu di ruang obrolan kita. Bahwa terkadang kamu butuh kendali atas diri sendiri. Kehilangan jiwa membuatmu sesak. Iya. Aku paham rasa sakitnya. Ingin menumpahkan emosi, silakan saja. Aku tak pandai berkata tetapi aku punya kedua ibu jari untuk selalu membalas pesanmu.

Dan mengenalnya menumbuhkan empatiku. Di kala raga sedang tidak baik, kau tak ubahnya balita yang merajuk. Kali ini, aku tidak paham rasa sakitnya karena aku adalah wanita. Jika suaraku bisa menjadi penyembuh, mari kita bertukar suara. Jangan murung lagi. Jangan.

Kalian Pernah Dengar Kalau Air Mata Tidak Hanya Penanda Duka?

 

Malam ini Ia datang. Dengan nada ketegasan ia mengutarakan beberapa tanya. Aku senang, tentu saja. Aku menjawab semua tanyanya dengan penuh harap, kalau-kalau aku akan mampu. Lalu sebuah pertanyaan muncul. Bukan darinya. Namun dari kepalaku.

"Siapakah aku?"

"Layakkah aku?"

Air mataku pun rebas semudah menghela napas. Semua penyesalan menggerayangi benak.

Harusnya, aku begitu sungguh-sungguh. Harusnya, aku begitu patuh. Harusnya, aku melunakkan hati.

Harusnya.

Harusnya.

Harusnya.