Ai Nurhidayat, Melestarikan Keberagaman Melalui Pendidikan Multikultural

Ai Nurhidayat, Pendiri SMK Bakti Karya Parigi
Sumber :
  • satu-indonesia.com

Olret – Indonesia merupakan negara yang kaya akan keberagaman, mulai dari suku, ras, budaya, bahasa, agama, dan kepercayaan.

Keberagaman tersebut merupakan kekayaan dan keindahan yang patut dijaga sebagai warisan nasional.

Namun sayangnya, banyak sekali kasus dan konflik yang justru muncul dari keberagaman ini.

Kurangnya toleransi, masyarakat yang etnosentris, hingga minimnya rasa cinta tanah air untuk menerima adanya perbedaan menjadi salah satu akar masalah.

Bukankah keberagaman itu adalah suatu keindahan yang perlu dilestarikan dan dipupuk bersama dengan menjalin rasa persaudaraan dengan sesama generasi penerus bangsa?

Berawal dari kekhawatiran itu, Ai Nurhidayat, seorang pemuda asal Pangandaran, Jawa Barat, menggagaskan pendidikan multikultural untuk melestarikan keberagaman di Indonesia, terutama di kalangan pemuda.

Melestarikan Keberagaman Melalui Pendidikan Multikultural di SMK Bakti Karya Parigi

 

SMK Bakti Karya Parigi

Photo :
  • Instagram/ smkbaktikaryaparigi

 

Perjalanan Ai Nurhidayat dalam merintis pendidikan multikultural tentunya tidak mudah.

Mengutip dari satu-indonesia.com, Ai Nurhidayat yang merupakan lulusan S1 Komunikasi di Universitas Paramadina membawa ilmu dan semangat keberagaman yang ia miliki dengan menerapkan pendidikan multikultural di Kampung Nusantara, Dusun Cikubang, Desa Cintakarya, Pangandaran.

Dimulai dengan mendirikan Komunitas Belajar Sabalad, Ai Nurhidayat menyelamatkan SMK Bakti Karya Parigi yang hampir tumbang dan mengoperasikannya di bawah naungan yayasan yang ia kepalai.

Pada tahun 2016, Ai Nurhidayat kembali membuka SMK Bakti Karya Parigi dengan mendatangkan siswa dari seluruh pelosok negeri. Untuk tinggal dan belajar bersama, serta membangun koneksi antar ras, suku, agama, budaya, serta tingkat ekonomi.

SMK Bakti Karya Parigi menawarkan pendidikan gratis selama 3 tahun, dan menjadi wujud gerakan publik agar masyarakat mau menerima keberagaman di Indonesia.

Selain menawarkan kelas multikultural, sekolah ini juga membuka kelas profesi untuk membuka jalan pengetahuan, dan perspektif pandangan kerja.

Metode Pembelajaran yang Berbeda

Siswa yang belajar di SMK Bakti Karya Parigi berasal dari latar belakang yang beragam, dengan lingkungan belajar yang berbeda, yang menyebabkan kesenjangan atau gap kemampuan akibat dari keadaan asal sekolah.

Menanggapi hal tersebut, SMK Bakti Karya mengubah model pembelajaran menjadi model blok.

Dari 23 mata pelajaran dikelompokkan menjadi 3 klaster, yaitu klaster Ekologi, klaster Humaniora, dan klaster Media.

Tidak hanya dibimbing oleh satu orang guru, kegiatan belajar di SMK Bakti Karya didampingi beberapa guru sekaligus untuk topik pembahasan yang saling menunjang.

Kegiatan belajar mengajar juga sering dilakukan di luar ruangan kelas agar lebih menyenangkan dan produktif.

Selain itu, siswa juga akan mendapatkan pendidikan profesi dari masyarakat sekitar yang bersedia membagikan ilmu dan praktik di lapangan dengan pengalaman yang mereka miliki untuk mempertajam skill siswa.

Selain program pembelajaran, SMK Bakti Karya Parigi juga menawarkan program Splash the Peace yang merupakan kegiatan ekspresi perdamaian sekolah multikultural dalam mengusung niat menjadi agen perdamaian.

Pada tahun 2019 sendiri, SMK Bakti Karya telah meluluskan sekitar 35 siswa dari 6 provinsi.

 

 

Semangat Ai Nurhidayat Mendapat Apresiasi dari ASTRA

Karena kegigihannya dalam melestarikan keberagaman dengan memajukan pendidikan bangsa, Ai Nurhidayat menerima apresiasi dari SATU Indonesia Awards pada tahun 2019 dalam bidang Pendidikan.

Apresiasi yang diberikan oleh ASTRA ini adalah wujud semangat untuk mendoronng para pemuda dan generasi bangsa untuk melakukan perubahan di lingkungan sekitar demi memajukan bangsa baik melalui sektor pendidikan, kesehatan, kewirausahaan, teknologi, dan lingkungan.

Ai Nurhidayat berharap program melestarikan keberagaman tidak hanya dilakukan di SMK Bakti Karya Parigi saja, melainkan di tempat-tempat lain. Dengan begitu para siswa dapat belajar bersama-sama menciptakan toleransi antar suku, ras, budaya, dan agama.