Di Sini Aku Susah Payah Mengobati, Di Sana Kau Sibuk Cari Pengganti
- https://www.pexels.com/@Kelly- -1179532
Olret – Sore itu setelah kau menyudahi episode kebersamaan kita, ku masih berdiri di bawah langit yang sama. Meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Menjaga akal sehatku agar tak terseret jauh dalam duka nestapa.
Tak bisa dipungkiri, hati ini telah retak namun aku tak ingin membuatnya semakin berantakan. Di bawah langit jingga, lewat hembusan angin sore itu aku bertanya; “apakah kamu merasakan juga apa yang aku rasakan?”
Pertanyaanku; “Bagaimana Hatimu Di Sana?” Jawabannya Kau Tengah Sibuk dengan Tambatan Hati yang Baru
Awalnya ku kira saat itu hanya emosimu sesaat, sampai pada pagi harinya aku telah tersadarkan bahwa kamu memang benar-benar sudah beranjak jauh. Sedangkan aku masih terpaku di sini, sendiri bersama harapan semu yang telah kau tinggalkan.
Entah suara hati atau bisikan ego, mendorong aku untuk menghidupkan harapan semu itu. Terbesit sangat disayangkan hubungan kita sudah sejauh ini, tak semestinya cerita usai tanpa bahagia.
Namun semakin aku memaksakan diri, semakin melebar luka yang kurasakan. Seperti menarik tambang berduri, semakin kuat aku mempertahankan peganganku, maka hanya luka yang aku dapat.
Ku rasa malaikat masih berpihak kepadaku. Ia berbisik; "hei, jangan kau sakiti dirimu sendiri!" Aku harus keluar dari keterpurukan ini, aku harus bisa mengobati luka yang telah tergores. Apalagi setelah tahu jawaban dari semua pertanyaanku; “bagaimana hatimu di sana?” jawabannya kau tengah sibuk dengan tambatan hati yang baru.
Tak Apalah Ku Bersusah Payah Sendiri Mengobati, Ku Doakan Kau Sukses dengan Penggantiku yang Baru
Secepat itu, tak pernah aku sangka, yang tak mungkin seorang kamu sebegitu teganya. Sore itu setelah kau pergi, selangkah kau meninggalkanku ternyata kau sudah mendapatkan pengganti. Semakin jauh langkahmu semakin bahagia yang kamu rasakan.
Lalu aku? Sebodoh itu aku optimis, betapa butanya mata hatiku kala itu. Mengharap kau kembali dengan lembaran baru yang akan kau tawarkan. Seyakin itu aku bertahan terbelenggu dalam harapan semu.
Kini ku ikhlaskan kau bersama penggantiku, ku ikhlaskan luka yang sudah terlanjur tergores. Semoga dengan ikhlas menjadi obat agar ku dapat tersenyum kembali. Ibarat cermin yang retak, mustahil bisa kembali utuh seperti semula. Namun sebelum cermin itu hancur berkeping tak tersisa, maka butuh menambal retakannya dengan perekat yang kuat. Begitupun dengan hati.
Tak apalah ku bersusah payah sendiri mengobati, ku doakan kau sukses dengan penggantiku yang baru. Harapan semu yang kau titipkan, tetap ku pegang erat. Kelak akan ku hidupkan harapan ini, namun bukan bersama kamu.