My Beauty Psychopat
- pexel
Olret – Sabrina menatap kekasihnya yang kini sedang duduk menatap layar laptopnya. Berkas kerjaannya menumpuk. Ia sebal sebenarnya. Ini hari minggu, tetapi kekasihnya malah bekerja.
“Kan kamu yang bilang pingin liatin aku kerja sambil bantuin kan? Jangan protes dong.” Jawab Ibas ketika Sabrina mengomel saat ia datang.
“Ya tapikan ini minggu. Emang kamu nggak bosan kerja dari senin sampai jumat, kemarin freelance terus sekarang kerjaannya dibawa pulang juga?” Sabrina masih tak mau kalah.
“Yaudah, kamu maunya aku sama kamu nih sekarang?.” Ibas kemudian menutup layar laptopnya. “Oke, terus mau ngapain?”
“Yaudah iyaa… sana kerja aja. Beresin dulu.”
Ibas tersenyum kemudian, mengelus kepala Sabrina. Sontak Sabrina tersenyum walau ia tahan. Ia tak ingin Ibas tahu jika Sabrina seluluh ini saat Ibas mengelus kepalanya.
Ibas kemudian mulai sibuk dengan pekerjaannya. Sabrina yang bosan memperhatikan Ibas kemudian mengambil ponsel, membuka galeri dan menatap foto-fotonya bersama Ibas.
Saat menatap salah satu foto yang menunjukkan gaya Ibas yang sedikit dibuat aneh, jantung Sabrina berdetak lebih cepat. Pikirannya mulai tak jelas. Ia kemudian menginginkan satu hal.
Olret – Sabrina menatap kekasihnya yang kini sedang duduk menatap layar laptopnya. Berkas kerjaannya menumpuk. Ia sebal sebenarnya. Ini hari minggu, tetapi kekasihnya malah bekerja.
“Kan kamu yang bilang pingin liatin aku kerja sambil bantuin kan? Jangan protes dong.” Jawab Ibas ketika Sabrina mengomel saat ia datang.
“Ya tapikan ini minggu. Emang kamu nggak bosan kerja dari senin sampai jumat, kemarin freelance terus sekarang kerjaannya dibawa pulang juga?” Sabrina masih tak mau kalah.
“Yaudah, kamu maunya aku sama kamu nih sekarang?.” Ibas kemudian menutup layar laptopnya. “Oke, terus mau ngapain?”
“Yaudah iyaa… sana kerja aja. Beresin dulu.”
Ibas tersenyum kemudian, mengelus kepala Sabrina. Sontak Sabrina tersenyum walau ia tahan. Ia tak ingin Ibas tahu jika Sabrina seluluh ini saat Ibas mengelus kepalanya.
Ibas kemudian mulai sibuk dengan pekerjaannya. Sabrina yang bosan memperhatikan Ibas kemudian mengambil ponsel, membuka galeri dan menatap foto-fotonya bersama Ibas.
Saat menatap salah satu foto yang menunjukkan gaya Ibas yang sedikit dibuat aneh, jantung Sabrina berdetak lebih cepat. Pikirannya mulai tak jelas. Ia kemudian menginginkan satu hal.
Ibas yang pegal karena terus menunduk kemudian memalingkan wajahnya menatap Sabrina. Memergoki kekasihnya yang sejak tadi menatapnya lekat. Entah apa yang ada di pikiran Sabrina saat menatap Ibas hingga pikirannya melayang entah kemana.
Ibas yang menggerakkan tangannya didepan wajah Sabrina pun tak membuat mata kekasihnya itu berkedip. Ibas mengerutkan dahi. Ia kemudian menepuk dahi Sabrina agak keras, yang berhasil membuat kekasihnya sadar kemudian.
“Kamu kenapa bengong? Aku makin ganteng ya sampai-sampai bikin kamu terpana begini?” ucap Ibas kemudian.
“Ih, apaan. Kamu tuh sejak pertama ketemu sampe sekarang juga sama aja. Nggak ada bedanya. Kadar nyebelinnya aja yang makin nambah.”
“Kamu nggak mau bikini aku kopi, es sirup, atau minimal ambilin aku air putih apa? Mentang-mentang anak kosan pelit gini ya.”
Sabrina tersenyum kemudian. Ia baru tersadar, Ibas yang sudah bersamanya hampir satu jam tak ia suguhi apapun. Ia pun berdiri menuju dapur, membuatkan kopi kesukaan Ibas. Saat ia sedang mengaduk kopinya, matanya tertuju pada peralatan dapur yang baru saja ia beli minggu lalu.
Ia mengambil pisau dapurnya yang berwarna hijau. Pisau pilihan Ibas. Ia memilih sembari berkata , “biar enak kalau besok-besok kamu masakin aku. Apalagi kan ini warna kesukaanku.” Sabrina kemudian tersenyum sinis. Ia semakin bulat akan keinginanya yang telah lama ia pendam.
Sabrina kemudian kembali menghampiri Ibas, menaruh kopi disampingnya. Ia kemudian melanjutkan menatap Ibas bekerja.
“Kamu nggak capek liatin aku terus?” Tanya Ibas kemudian.
“Kamu istirahat dulu kek. Aku kan juga mau ngobrol tau.”
Ibas kemudian menuruti Sabrina. Ia kemudian duduk bersandar ke tembok, menikmati kopi buatan Sabrina dan menaruhnya kembali. “Jadi, mau ngobrolin apa?”
Ibas tertidur setelah lama mengobrol dengan Sabrina. Ia memang kurang tidur satu minggu ini. Pekerjaannya yang menumpuk dan sering lembur membuatnya tak cukup tidur. Sabrina pun mengankat kepala Ibas ke bantal yang ia ambilkan dari kamar, membereskan pekerjaan Ibas yang masih berserakan, kemudian menutup layar laptop Ibas.
Sabrina memandangi kekasihnya yang telah bersamanya selama tujuh bulan terakhir. Ibas dan Sabrina sama-sama cuek seperti kata teman-temannya. Sayangnya Ibas memiliki kadar kecuekan yang lebih parah daripada Sabrina, bahkan terkadang teman-teman Sabrina memandang Ibas tak peduli hanya karena Ibas jarang berkirim pesan atau bahkan mengabaikan pesan Sabrina.
Ibas memiliki tinggi badan 180cm, berkulit sawo matang khas orang Jawa. Dahi Ibas lebar terkadang menjadi becandaan Sabrina yang menyebutnya lapangan parkir, tulang hidungnya yang menonjol, membuat Ibas memiliki hidung lebih mancung, dan pipi Ibas yang mulai berisi beberapa bulan terakhir.
Sabrina tak hentinya memandangi wajah kekasihnya itu. Hasrat yang selama ini dipendamnya kemudian muncul. Ia kemudian berdiri, berjalan menuju dapur, menyalakan kompor dan kemudian menaruh panci berisi air ke atasnya kompornya.
Ia kemudian memasukkan bahan-bahan yang ia siapkan ke dalam panci berisi air mendidih. Ia pun kemudian menghampiri Ibas yang tertidur pulas dengan membawa pisau dan mangkok ditangannya. Tak lama kemudian, ia duduk bersila dekat dengan Ibas.
“Sayang, maaf ya.” Sabrina berbisik di telinga Ibas. Kemudian ia mengiris daging di pipi Ibas tipis-tipis, menyisakan darah yang kini mengalir. Ibas merintih kesakitan, tetapi entah mengapa ia tak bisa membuka matanya.
Sabrina kemudian melanjutkan lagi hingga semua daging di kedua pipi Ibas habis menyisakan tulang. Ia pun melanjutkan dengan memotong daging di hidung Ibas hingga habis, lalu dilanjutkan telinga Ibas. Sabrina tersenyum begitu lebar. Akhirnya apa yang ia inginkan selama ini segera terkabul, menikmati bagaimana rasa Ibas yang sebenarnya.
Sabrina menatap lekat wajah kekasihnya yang kini berlumuran darah. Sabrina pun mendekatkan wajahnya ke Ibas, kemudian mencium bibir Ibas begitu dalam. Ia ingin mengatakan kepada Ibas bahwa ia begitu mencintainya, dan ini bukti cintanya kepada Ibas. Ia memagut bibir Ibas semakin dalam. Menyampaikan betapa cintanya ia, dan mungkin ini hal terakhir yang bisa ia lakukan.
Setelah puas mencium Ibas, Sabrina kemudian memotong bibir Ibas menjadikannya beberapa bagian dan memasukkannya ke dalam mangkuk. Wajah Ibas kini hanya tersisa dahinya yang masih tertutup kulit. Sabrina sempat berpikir untuk menyisakannya saja, sayangnya ia kemudian berubah pikiran. Sabrina menyayat kulit dahi Ibas hingga tak bersisa.
Ia pun kemudian pergi ke dapur, kembali memasak makanannya. Saat ia berpikir ada yang kurang, ia kemudian berlari keluar, meminjam pisau besar kepada bapak kosnya. Dan kembali mendekati Ibas.
Dugh dugh dugh!!
Sabrina memotong tulang tengkorak Ibas. Keinginan lamanya kini terlaksana. Menjadikan Ibas seperti sop iga kesukaannya.
Dugh dugh dugh!!
Ibas terbangun dari tidurnya yang mengerikan. Ia bermimpi jika Sabrina memotong tengkoraknya. Napasnya memburu karena ketakutan. Suara dugh dugh dugh itu pun masih terngiang di telinga Ibas. Ia kemudian keluar, dan mencari sumber suara yang ternyata tetangga kos Sabrina sedang merenovasi rumah.
“Kamu ngapain disini?” Tanya Sabrina kemudian yang kini berdiri di tengah pintu. Menyadari jika Ibas sedang di luar
Ibas terkaget mendengar Sabrina. Ia kemudian berbalik menatap kekasihnya. “Ayo makan dulu.” Ajak Sabrina kemudian.
Ibas mengikuti Sabrina yang masuk kedalam bersiap untuk makan. Ia pun duduk bersila kemudian. Ibas kemudian membuka tutup panci di hadapannya, ia pun menganga menatap masakan Sabrina. Ia tampak seperti sop dalam mimpinya.