Seumur Hidup Itu Terlalu Lama, Jika Kamu Habiskan Bersama Orang Yang Salah

Pertanyaan untuk Ditanyakan Saat Kehidupan Seks Kamu Menderita
Sumber :
  • freepik.com

Olret – Ilustrasi  

Ada sebuah keluarga yang terlihat bahagia dan harmonis. Setiap orang, baik keluarga besar sendiri, selalu menilai mereka adalah keluarga ideal dan beruntung. Suami yang gentle, hebat, pintar cari uang dan bisa melindungi keluarga. Namun, mereka sama sekali tak tahu bahwa Sang Istri, sering kali merasa tertekan dan depresi pada sikap suaminya

Bukan hal yang besar, bahkan semua orang awalnya akan berpikir bahwa si perempuanlah yang egois dan banyak maunya. Si Istri memang mengatakan bahwa suaminya adalah lelaki yang baik, tapi …

Suaminya jarang mandi, jarang memberikan perhatian, selalu abai saat diberitahu hal yang tak sukai istrinya, tidak ingat ulang tahun pernikahan, istri atau anak-anak, hingga sangat cuek dan selalu bertindak semaunya sendiri, sebab merasa dirinya suami dan superior. Namun, bukankah itu hal biasa? Lelaki memang kadang seperti itu?

Sampai, entah karena tidak merasa bersyukur, atau kesal memendam semua omelan sendiri. Si Istri kekeh untuk berpisah. Anak-anak mereka belumlah terlalu dewasa untuk mengerti, namun Si Istri berkata pada anak-anaknya menjelang perpisahan, “semoga kamu bisa mengerti Mama. Seumur hidup itu terlalu lama, Nak.”

*

Ketika itu, usia anak menginjak 16 tahun, saat lelaki baru datang dalam kehidupan mereka sebagai Papa tiri. Meskipun, lelaki itu tak segagah dengan wajah yang biasa saja daripada Papanya dulu. Namun, penampilannya yang bersih dan senyumnya lembut. Tidak hanya membuat Si istri nyaman, tapi juga membuat anaknya welcome.

Berbeda dengan Papanya dulu, Si Papa tiri, selalu mencoba memberikan banyak perhatian kecil kepada Sang Istri. Membelikan sepatu putih, ikut membantu mengganti pot kesayangan Sang Istri, membelikan taplak meja dan hal-hal lainnya baik pada istrinya maupun anak-anaknya. Terpenting, dia selalu mengajak jalan-jalan istrinya setiap sore untuk melihat matahari terbenam dan melihat bunga-bunga yang bermekaran, sambil memberitahu nama bunga itu satu persatu pada istrinya. Tak lupa, setiap saat selalu menggegam tangan istrinya mesra.

Papa tiri juga memberikan banyak perhatian pada anak-anak. Selalu mencoba dan memuji menu baru yang disiapkan istri dan selalu menghabiskannya. Sedangkan, Si istri selalu tersenyum saat suami dan anak-anaknya menyukai masakannya.

Saat Si Istri sakit. Papa tiri pula yang sigap menunggu dan merawatnya sebaik mungkin. Membawakan satu buket bunga lily dan memotongkan buah. Dia jarang sekali terlihat beranjak dari tempat duduknya di samping Sang Istri, kecuali untuk hal-hal urgent semata. Sampai, hal itu sering membuat tatapan iri dari pasien lainnya pada Sang Istri yang ditunggui.

Saat itu, anak mereka baru sadar akan ucapan Mamanya saat kekeh berpisah dengan Papa atau suami pertamanya dulu. Yaitu seumur hidup terlalu lama jika dihabiskan dengan seseorang yang tidak bisa membuat kita nyaman dan menjadi diri sendiri.

Pernikahan bukan cuma perlu dua orang yang baik, tapi perlu dua orang yang bisa merasa nyaman satu sama lain. Pernikahan itu saling melengkapi, bukan hanya saling menuntut, sehingga salah satu pasangan merasa bahwa dia seperti kehilangan jati dirinya dan potensinya.

Papa pertama memang lelaki yang baik, namun Papa tiri bukan hanya sekedar baik, dia juga mampu membuat istrinya nyaman bersamanya. Papa pertama mungkin lelaki yang bertanggung jawab dalam keluarga, namun istrinya juga butuh suami yang peduli dan mengerti dirinya, juga hal-hal yang tak disukainya.

Sehingga si anak memberikan cuitan terakhir, “Memang bercerai bukanlah menjadi tujuan. Namun, kalau bisa menikah dengan orang yang tepat, kenapa harus bertahan pada seseorang yang tidak tepat, kemudian bercerai? Dan ternyata cinta saja tidak cukup dalam hubungan, rasa nyamanlah yang diinginkan semua orang.”

****

Sebagai pembaca, mungkin ada dari kita yang tetap menyalahkan Si Istri, karena sikapnya, yang seakan tidak bisa menerima kekurangan suaminya. Atau merasa bahwa si istri adalah wanita yang tidak pandai bersyukur.

Namun, problem rumah tangga itu berbeda-beda, dan kita tidak punya hak atas pilihan orang lain. Mungkin, awalnya si istri sudah berusaha menerima dan memaklumi kekurangan suaminya, namun dia gagal. Justru, terus memendam perasaan kesal itu, akan berakibat depresi dan stress yang lebih fatal kedepannya.

Saat memilih berpisah pun, setiap orang, termasuk si istri pasti sudah mengerti akan konsekuensi yang harus ditanggungnya. Asal tidak sampai mengorbankan dan melalaikan kewajibannya pada anak-anak dan tidak egois sendiri. Demi kewarasan dan merasa hubungan memang tidak bisa dipertahankan. Maka perpisahan tetap bisa menjadi jalan terbaik.

Oleh sebab itu, kita tidak patut menghakimi, karena terbukti bahwa akhirnya Tuhan Maha Baik, dengan mengirimkan seorang lelaki yang seperti si Istri harapkan. Seseorang yang tepat, yang dia butuhkan. Dan semoga, tidak ada penyesalan yang akan mereka rasakan.

Olret – Ilustrasi  

Ada sebuah keluarga yang terlihat bahagia dan harmonis. Setiap orang, baik keluarga besar sendiri, selalu menilai mereka adalah keluarga ideal dan beruntung. Suami yang gentle, hebat, pintar cari uang dan bisa melindungi keluarga. Namun, mereka sama sekali tak tahu bahwa Sang Istri, sering kali merasa tertekan dan depresi pada sikap suaminya

Bukan hal yang besar, bahkan semua orang awalnya akan berpikir bahwa si perempuanlah yang egois dan banyak maunya. Si Istri memang mengatakan bahwa suaminya adalah lelaki yang baik, tapi …

Suaminya jarang mandi, jarang memberikan perhatian, selalu abai saat diberitahu hal yang tak sukai istrinya, tidak ingat ulang tahun pernikahan, istri atau anak-anak, hingga sangat cuek dan selalu bertindak semaunya sendiri, sebab merasa dirinya suami dan superior. Namun, bukankah itu hal biasa? Lelaki memang kadang seperti itu?

Sampai, entah karena tidak merasa bersyukur, atau kesal memendam semua omelan sendiri. Si Istri kekeh untuk berpisah. Anak-anak mereka belumlah terlalu dewasa untuk mengerti, namun Si Istri berkata pada anak-anaknya menjelang perpisahan, “semoga kamu bisa mengerti Mama. Seumur hidup itu terlalu lama, Nak.”

*

Ketika itu, usia anak menginjak 16 tahun, saat lelaki baru datang dalam kehidupan mereka sebagai Papa tiri. Meskipun, lelaki itu tak segagah dengan wajah yang biasa saja daripada Papanya dulu. Namun, penampilannya yang bersih dan senyumnya lembut. Tidak hanya membuat Si istri nyaman, tapi juga membuat anaknya welcome.

Berbeda dengan Papanya dulu, Si Papa tiri, selalu mencoba memberikan banyak perhatian kecil kepada Sang Istri. Membelikan sepatu putih, ikut membantu mengganti pot kesayangan Sang Istri, membelikan taplak meja dan hal-hal lainnya baik pada istrinya maupun anak-anaknya. Terpenting, dia selalu mengajak jalan-jalan istrinya setiap sore untuk melihat matahari terbenam dan melihat bunga-bunga yang bermekaran, sambil memberitahu nama bunga itu satu persatu pada istrinya. Tak lupa, setiap saat selalu menggegam tangan istrinya mesra.

Papa tiri juga memberikan banyak perhatian pada anak-anak. Selalu mencoba dan memuji menu baru yang disiapkan istri dan selalu menghabiskannya. Sedangkan, Si istri selalu tersenyum saat suami dan anak-anaknya menyukai masakannya.

Saat Si Istri sakit. Papa tiri pula yang sigap menunggu dan merawatnya sebaik mungkin. Membawakan satu buket bunga lily dan memotongkan buah. Dia jarang sekali terlihat beranjak dari tempat duduknya di samping Sang Istri, kecuali untuk hal-hal urgent semata. Sampai, hal itu sering membuat tatapan iri dari pasien lainnya pada Sang Istri yang ditunggui.

Saat itu, anak mereka baru sadar akan ucapan Mamanya saat kekeh berpisah dengan Papa atau suami pertamanya dulu. Yaitu seumur hidup terlalu lama jika dihabiskan dengan seseorang yang tidak bisa membuat kita nyaman dan menjadi diri sendiri.

Pernikahan bukan cuma perlu dua orang yang baik, tapi perlu dua orang yang bisa merasa nyaman satu sama lain. Pernikahan itu saling melengkapi, bukan hanya saling menuntut, sehingga salah satu pasangan merasa bahwa dia seperti kehilangan jati dirinya dan potensinya.

Papa pertama memang lelaki yang baik, namun Papa tiri bukan hanya sekedar baik, dia juga mampu membuat istrinya nyaman bersamanya. Papa pertama mungkin lelaki yang bertanggung jawab dalam keluarga, namun istrinya juga butuh suami yang peduli dan mengerti dirinya, juga hal-hal yang tak disukainya.

Sehingga si anak memberikan cuitan terakhir, “Memang bercerai bukanlah menjadi tujuan. Namun, kalau bisa menikah dengan orang yang tepat, kenapa harus bertahan pada seseorang yang tidak tepat, kemudian bercerai? Dan ternyata cinta saja tidak cukup dalam hubungan, rasa nyamanlah yang diinginkan semua orang.”

****

Sebagai pembaca, mungkin ada dari kita yang tetap menyalahkan Si Istri, karena sikapnya, yang seakan tidak bisa menerima kekurangan suaminya. Atau merasa bahwa si istri adalah wanita yang tidak pandai bersyukur.

Namun, problem rumah tangga itu berbeda-beda, dan kita tidak punya hak atas pilihan orang lain. Mungkin, awalnya si istri sudah berusaha menerima dan memaklumi kekurangan suaminya, namun dia gagal. Justru, terus memendam perasaan kesal itu, akan berakibat depresi dan stress yang lebih fatal kedepannya.

Saat memilih berpisah pun, setiap orang, termasuk si istri pasti sudah mengerti akan konsekuensi yang harus ditanggungnya. Asal tidak sampai mengorbankan dan melalaikan kewajibannya pada anak-anak dan tidak egois sendiri. Demi kewarasan dan merasa hubungan memang tidak bisa dipertahankan. Maka perpisahan tetap bisa menjadi jalan terbaik.

Oleh sebab itu, kita tidak patut menghakimi, karena terbukti bahwa akhirnya Tuhan Maha Baik, dengan mengirimkan seorang lelaki yang seperti si Istri harapkan. Seseorang yang tepat, yang dia butuhkan. Dan semoga, tidak ada penyesalan yang akan mereka rasakan.

Selama kita masih diberikan kesempatan untuk hidup oleh Tuhan. Kita pun bisa bebas menentukan pilihan yang ada.

Saat kamu memang merasa tidak sanggup menghabiskan sisa seumur hidupmu dengan seseorang yang kamu anggap salah, dan memang sudah terbukti apa adanya dia seperti itu. Maka, kamupun bebas jika ingin berpisah darinya dan membuka lembaran baru. Asal kamu paham konsekuensinya, siap mempertanggung jawabkannya dan tidak mendzalimi siapapun, apalagi orang-orang yang kamu sayangi.