Menertawakan Diri di Masa Lalu

Ilustrasi Persahabatan
Sumber :
  • Pexels/Tan Danh

Olret – Kini aku bisa menertawakan diriku di masa lalu

Bagaimana semua ini hanyalah tipu daya yang nyata

Bagaimana emosi bisa benar-benar membakar diri

Sebelum luluh menjadi abu sungguhan,

Aku tersungkur mencari pengampunan

 

Kini aku bisa geleng-geleng penuh heran

Bagaimana dulu bisa terjebak dalam ilusi permainan

Bagaimana ini hanyalah skenario penguji kepatuhan

Yang berbakti akan tetap berbakti

Yang tersulut akan menyandang status gagal

 

Kini aku bisa tertawa

Sungguh kami sedemikian lemahnya

Bibir berucap bakti namun laku bertindak sebaiknya

Bukanlah selucu itu?

Tenang dan Kenang 

Yang kunanti, yang kudamba

Datang mengukir senang

Hadir menoreh ceria

 

Yang kuikat, yang terpendam

Pupus mencipta lega

Hilang meninggalkan tenang

 

Yang berjarak, yang terlepas

Mendekat mengulurkan tangan

Mendekap penuh kasih

 

Hari baru telah hadir

Ucapan syukur terus melambung

Menangkap makna akan semua yang hadir

Waktu untuk Sendiri

Terkadang, aku benar-benar butuh waktu untuk sendiri. Tanpa mendengar. Tanpa melihat. Tanpa merasa.

 

Sebentar saja. Aku ingin mengatur napas sebelum kembali menyapa. Terlalu lelah, mungkin menjadi alasan.

 

Disaat aku seperti ini, aku selalu tidak siap untuk menerima transfer beban. Izinkan aku terpejam, malam ini.

 

Terima kasih sudah percaya, terima kasih sudah mau berbagi. Namun saat ini, waktuku untuk mendekap diri. Bersandar pada keyakinan, bahwa aku bisa dan telah melewati hari ini.

 

Esok adalah hari yang baru. Jangan ulangi kegaduhan isi pikiranmu di depanku. Jangan lagi. Jawaban atas semuanya telah ada jauh sebelum hari ini. Jangan mengaduh, lagi.

 

Pun denganku, mataku telah terbuka, telingaku telah hidup. Siap melihat dan mendengar kisah baru penuh makna.

Aku Benci

Aku benci menjadi rapuh

Disentuh saja sudah membuatku patah

Dengan tangan berdarah, aku mengumpulkan kepingan hati dan ceceran hidup

 

Mencoba berbenah

Berusaha berubah

 

Tak ingin terjebak di sini, lagi

 

Namun nyatanya, aku tetap kembali, ke sini

 

Sekuat apa pun aku melangkah, ada gaya tarik yang membuatku kembali ke pusara dan kembali membuatku lumpuh

 

Aku benci menjadi retak

Mengapa dan bagaimana?

Kapan aku keluar dari sini?

Di manakah jalan keluar itu?

 

Mata mematas, kepala berkedut

Aku lelah, sungguh

Aku ingin normal, sungguh