Part 4 : Teror Gunung Dempo Pagar Alam Sumatera Selatan

alasan mendaki gunung merbabu
Sumber :
  • https://ngayap.com/

Olret – Setelah pengalaman-pengalaman yang mengerikan di Part 3 : Teror Gunung Dempo Pagar Alam Sumatra Selatan. Berikut lanjutannya.

Sosok Qorry Oktaviani, Wanita Inspiratif dari Jambi yang Lestarikan Batik

Setelah beberapa saat, Anes dan Yuni kembali tenang. Nafas Anes juga mulai teratur. Dan ketika Bang Idan mengajak untuk bergerak, Anes menurut. Kami berasumsi sepasang harimau yang dilihat Anes sudah pergi.

"Rapatkan jarak. Jangan terlalu jauh." Perintah Bang Idan.

Pesan Pendaki Ini Viral di TikTok : Jika Tak Mampu Bawa Sampah Sendiri, Rebahan Saja di Rumah

Bang Amran yang paling depan kembali berjalan, disusul Yuni, aku, Ale, Anes dan Bang Idan. Kami berjalan dengan lebih rapat.

Lalu tiba-tiba kami semua bertabrakan. Rupanya Bang Amran berhenti mendadak. Dia tampak tertarik dengan sebuah daun keladi hutan yang bergerak-gerak sendiri. Dengan santai dia diam memperhatikan sambil menyoroti daun yang bergerak ganjil itu dengan senter.

Reboisasi Bentuk Cinta Pada Alam

Seperti yang bisa kuduga, suara Bang Idan kembali terdengar, "Am, kenapa berhenti? Ngapain nyenterin daun keladi? Biarkan aja itu Am! Kalo mau istirahat, matiin aja senternya, hemat Am!"

Tapi Bang Amran seakan tak menggubris pertanyaan Bang Idan Dia terus saja menyenteri daun itu. Kami semua saling berpandangan, tak tahu harus bagaimana. Lalu pelan-pelan Bang Amran berbalik ke arah kami, sebuah senyuman aneh tersungging di bibirnya. Dia menatap kami satu persatu, lalu tawanya pecah dengan keras.

Kami semua reflek mundur, ketakutan. Bang Amran masih terus tertawa terbahak-bahak sambil terus bergantian menatap kami. Lalu dengan suara keras dia menyanyikan reff sebuah lagu yang sedang ramai diputar di radio.

"Andaaaaaai di pisaaaaah! Andaiii dipisaaah!"

Bang Idan langsung maju, tapi Bang Amran melompat mundur sambil terus bernyanyi dan tertawa. Dan seperti bukan gerakan manusia, tiba-tiba saja Bang Amran melompat ke pohon terdekat. Bang Idan bergerak cepat menariknya dan menenangkannya.

Kami kembali dicekam ketakutan dan mulai menangis melihat dua orang yang kami tuakan sedang bergumul.

Ketika akhirnya Bang Amran mulai tenang, kami berinisiatif membantu memegangi tubuhnya. Kekhawatiranku adalah jika Bang Amran melompat ke jurang di sisi kiri kami. Walau sudah tak bergerak, tapi Bang Amran tak berhenti tertawa dan bernyanyi sambil terus-terusan memelototi kami. Sesekali dia mengomel dengan bahasa Jawa, lain waktu dia menangis seperti perempuan.

"Semua doa," Perintah Bang Idan, "Nes, Yun, kamu juga berdoa menurut caramu."

Tidak ada satu pun dari kami yang mengerti cara menghadapi orang kesurupan. Yang bisa kulakukan hanya istighfar tanpa henti. Kudengar Anes dan Yuni juga mengulang-ulang doa yang sama, memohon pertolongan pada Tuhan Yesus.

Dan seperti sebelumnya, tiap kali ada kejadian, sekeliling kami riuh dengan berbagai suara dan tawa cekikikan seakan mengejek. Aku sempat melihat sekilas ke pohon besar di belakang kami, tapi aku langsung membuang muka. Disana berkumpul banyak Kuntilanak, pocong dan genderuwo.

Sadar karena tak bisa berlama-lama ditempat seperti ini, Bang Idan memegangi Bang Amran dan mulai berjalan lagi. Senter diserahkan pada Anes yang terpaksa berjalan paling belakang.

Beberapa kali Bang Amran tersadar dan bertanya pada Bang Idan, "heh kenapa aku Das?"

Tapi tak lama, dia mulai kesurupan lagi. Matanya kembali melotot dan marah-marah menebarkan ancaman, bahwa kami tak akan bisa selamat dari gunung ini. Sesekali dia juga berkata dengan marah.

"TINGGALKAN! TINGGALKAN!! KALIAN HARUS TINGGALKAN DISINI!! "

Tapi kami tak mengerti maksudnya, apa yang ditinggalkan? Atau siapa yang ditinggalkan? Bang Idan memberi kode agar kami mengabaikan saja ocehan Bang Amran. Ucapan itu dia ulang terus, tapi kami tak menghiraukannya. Tak lama berjalan, kami tiba di sebuah tempat yang lumayan datar di bawah sebuah pohon. Tempat datar itu kira-kira sekitar satu meter persegi. Disitu kami beristirahat lagi.

Sesungguhnya aku tak tega pada Bang Idan. Sambil terus menjaga kami dia juga dengan ketat memegangi Bang Amran yang selalu memberontak sambil marah-marah. Tapi keadaannya memang sungguh berbahaya, tidak perlu melompat ke jurang di sisi kiri, jatuh di turunan-turunan ekstrim ini pun akan fatal akibatnya.

Ditempat istirahat ini Bang Idan memejamkan matanya sambil tangannya terus merangkul Bang Amran. Aku mendekati Ale yang sejak tadi hanya diam dan mengajaknya ngobrol.

"Le, maksud Bang Amran apa ya teriak-teriak 'tinggalkan' itu?" Tanyaku pada Ale.

Tapi Ale seakan tidak mendengar pertanyaanku. Matanya menatap kosong pada satu titik dibelakang pohon. Jari tangannya saling menggenggam dengan erat dan dililit menggunakan syal.

Aku mengulangi lagi pertanyaanku karena kupikir Ale tak mendengar, "Le, kamu tak dengar kah? Aku tadi tanya, Kira-kira apa maksud Bang Amran bilang 'tinggalkan tinggalkan' itu? "

Kali ini Ale menatap mataku. Wajahnya seputih mayat, bibirnya gemetar.

"Pin, aku takut sekali Pin." Suaranya terdengar bergetar saking takutnya.

"Ada apa, Le?" Tanyaku.

"Itu si Monyet besar itu dari tadi terus mengintai kita Pin."

"Monyet apa Le? Makhluk yang tadi cengkram kakiku?" Tanyaku sambil pandanganku menyapu hutan berkabut di sisi kananku, mencari keberadaan makhluk yang Ale maksud.

"Bukan, Pin. Beda. Dia udah ngikutin kita dari atas. Matanya merah menyala, badannya besar berbulu." Jawab Ale setengah berbisik, ''dia terus-terusan ngomong ke aku, Pin. Aku takut, Pin."

"Ngomong apa dia, Le?" Tanyaku penasaran.

Mata Ale terlihat semakin ketakutan, wajahnya kian pucat. "Dia bilang: cepat dorong temanmu itu. Cepat dorong temanmu itu." Jawab Ale, "begitu terus menerus, Pin. Aku takut dikuasainya dan kesurupan kayak Bang Amran, makanya ku ikat tanganku ini."

"Siapa yang didorong maksudnya, Le?" Tanyaku lugu.

"Kamu, Pin."

Sekarang aku yang ketakutan setengah mati.

"Yang benar, Le?" Tanyaku memastikan.

"Bener, Pin. Demi Allah demi Rasullulah! Aku benar-benar takut, Pin."

Tiba-tiba Bang Idan membuka matanya dan menghardik kami berdua. "Heh, ngomong apa kalian?!"

Lalu Ale menjelaskan yang sebelumnya sudah dia ceritakan padaku. Bang Idan mendengarkan dengan serius. Alis matanya bertaut, dia tampak kesal. Setengah berteriak dia bertanya ke Ale

"Mana makhluk itu?! Tunjuk, Le!!"

Dengan ketakutan Ale menunjuk sebuah titik dibelakang pohon besar. Bang Idan menyenteri tempat itu, tapi tidak ada yang terlihat.

"Bener omonganmu itu, Le?!" Tanya Bang Idan lagi.

Ale mengangguk pelan. Nafas Bang Idan naik turun. Nampaknya dia semakin muak dengan keadaan ini. Lalu dia meminta kami berdiri dan mulai bergerak lagi. Bang Idan mengambil tangan Bang Amran dan mulai memapahnya lagi. Bang Amran terus ngoceh sendiri dalam bahasa yang kami tak mengerti. Satu-satunya yang kumengerti adalah jika dia mulai mengulangi lagi kalimat: Tinggalkan. Tinggalkan saja dia disini.

Tapi kali ini ucapan itu ditimpali Bang Idan dengan emosi.

"NGGA ADA YANG DITINGGALKAN DISINI!!"

Kami semua menciut mendengar Bang Idan mulai emosi. Aku yang tadinya mau menanyakan sesuatu pada Ale terpaksa mengurungkan niatku. Semakin turun ke bawah, kabut semakin pekat.

Kami kembali merapatkan posisi, khawatir akan terpisah di tengah kabut. Kuntilanak-kuntilanak masih berjejeran di pohon-pohon. Aku berdoa semoga mereka tetap seperti itu pada kami, jangan pernah mendekat.

Kami terus turun dalam diam. Tubuhku rasanya sudah remuk akibat kelelahan, juga lapar dan haus. Setelah berjalan selama beberapa lama, kami tiba di sebuah tempat yang lumayan rata di bawah sebuah pohon. Disitu Bang Idan meminta kami kembali beristirahat.

Aku celingak-celinguk melihat tempat kami beristirahat, lalu mendekati Bang Idan.

"Bang, ini bukannya tempat yang tadi?" Tanyaku takut-takut.

"Jangan ngawur! Ngga ada itu!" Sembur Bang Idan, "kita udah jalan turun lama tadi. Jangan ngawur!"

Aku tidak berani membantah Bang Idan. Tapi aku yakin, ini tempat tadi kami beristirahat. Baru saja aku hendak bertanya pada Ale, kami mendengar Anes berteriak-teriak histeris. Tangannya mengibas-ibas ke udara .

"PERGI! PERGI!! TUHAN YESUS, TOLONG AKU!! PERGIII...!!"

Kami semua terperangah melihat Anes dengan panik menepuk-nepuk udara kosong. Apakah kali ini Anes yang kesurupan?

"Nes! Ada apa Nes?" Tanyaku setengah berteriak padanya.

Tak kusangka dia menjawab, walau masih terus memukul dan menendang-nendang udara kosong.

"Tolong, Pin! Aku mau dibawa kuntilanak!!"