Psikologi Pria Setelah Putus, Benar Gak Bro?
- freepik.com
Olret – Jika kamu baru saja putus cinta dan mendapati diri merawat patah hati sambil mendengarkan setiap lagu yang mengingatkan padanya, kamu mungkin bertanya-tanya, “Apakah dia juga terluka seperti saya?” Untuk menjawabnya, kami akan mendalami topik psikologi pria setelah putus cinta.
Dengan wawasan yang didukung penelitian, mari kita jelaskan apa yang sebenarnya dialami pria setelah suatu hubungan berakhir. Mari kita mulai.
Jadi Kalian Putus Bro?
Ah, setelahnya—saat kamu dibiarkan menatap ponsel, berdebat apakah akan mengirimkan pesan “Hei, apa kabar?” teks. Secara emosional, ini adalah badai. Kamu mungkin merasakan campuran rasa lega, sedih, dan cemas bergejolak di dalam diri.
Secara psikologis, ini mirip dengan penarikan diri. Saat kamu sedang jatuh cinta, otak akan bekerja seperti pabrik dopamin kecil, memproduksi neurotransmitter perasaan nyaman yang membuat kamu tetap hangat dan tidak nyaman.
Sekarang, setelah putus cinta, sepertinya jalur produksi dopamin kamu mogok, meninggalkan kamu dalam apa yang kita sebut kekeringan dopamin.
Kekeringan ini bukan sekadar metafora, namun merupakan realitas neurologis. Otak Anda harus menyesuaikan diri untuk tidak sering menerima peningkatan dopamin dan serotonin dari momen mesra, sentuhan, dan afirmasi.
Bayangkan beralih dari prasmanan bahan kimia yang membuat Anda merasa nyaman dan tiba-tiba menjalani 'diet neurotransmitter'. Otak membutuhkan waktu untuk beradaptasi dan menemukan sumber kesenangan dan kepuasan baru, sehingga terjadilah gejolak emosi yang Anda alami.
Sedangkan bagi para wanita, sangat umum menemukan hiburan dalam jaringan dukungan emosional—seperti panggilan telepon tanpa henti dengan teman-teman.
Pada tingkat psikologis, Anda sedang melalui apa yang disebut regulasi emosional, secara aktif mencari cara untuk memahami dan mengelola perasaan Anda.
Dan oh, betapa kami bertanya-tanya tentang apa yang dia lakukan. Apakah dia murung atau menjalaninya? Keingintahuan ini sering kali dipicu oleh apa yang oleh para psikolog disebut sebagai teori perbandingan sosial.
Pada dasarnya, Anda mencoba menilai cara Anda menangani perpisahan itu dibandingkan dengan dia, sering kali sebagai cara untuk mengukur kesejahteraan emosional Anda sendiri.
Namun pertanyaan yang masih membara: Apa yang dia alami? Apakah pengalaman emosional dan psikologisnya sejajar dengan pengalaman Anda, atau justru jalur yang jarang dilalui?
Rollercoaster Emosional – Apa yang Pria Pikirkan Pasca Putus
Nona, jangan bertanya-tanya lagi. Berkat keajaiban psikologi, kami memiliki beberapa jawaban tentang psikologi pria setelah putus cinta.
Ingat, kami tidak menggeneralisasi semua pria. Kami menawarkan gambaran luas berdasarkan penelitian dan prinsip psikologis.
Reaksi Segera: Penolakan dan Perlindungan Ego
Awalnya, ego laki-laki mengambil tempat terdepan. Mekanisme pertahanan ego yang umum seperti penolakan dan penindasan ikut berperan.
Dia mungkin menghindari membicarakan perpisahannya dengan teman-temannya atau bahkan pergi keluar malam ke kota seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Dalam benaknya, ungkapan seperti “Dia bahkan bukan tipeku,” atau “Lagi pula, aku tidak melihat masa depan bersamanya,” menjadi mantra yang menenangkan diri. Namun jangan salah—di balik keberanian ini, perasaan mulai muncul.
Minggu 1-2: Mati Rasa Emosional & Disonansi Kognitif
Selama fase ini, banyak pria mungkin terjun ke pekerjaan atau hobi untuk menghindari kekosongan emosional. Proses berpikir pada tahap ini merupakan suatu jaringan yang kusut.
Ada disonansi kognitif, yang berarti dia mungkin mengirim pesan kepada gadis lain sambil menguntit media sosial Anda, merasa terbebas dan terjebak oleh tindakannya.
Dia belum siap untuk mendamaikan emosi-emosi yang saling bertentangan ini, jadi mati rasa emosional bertindak sebagai penyangga sementara.
Minggu 3-4: Refleksi dan Nostalgia
Kemudian, nostalgia muncul. Ini adalah saat dia mungkin membaca teks-teks lama, melihat gambar, atau bahkan berkendara melewati tempat-tempat yang menyimpan kenangan.
Pikirannya bisa berkisar dari “Apakah saya melakukan kesalahan?” hingga “Itu adalah saat-saat yang menyenangkan.” Secara psikologis, dia sedang mengalami aturan puncak, dan jangan kaget jika dia berusaha mengejar ketinggalan.
Ya, nona-nona, ini mungkin pertanyaan “Hei, apa kabar?” fase teks.
Minggu 5-8: Rasionalisasi dan Rekonstruksi
Di sinilah naskah mental mulai berubah. Pria itu mulai terpaku pada hal-hal yang tidak beres, mungkin menyalahkan faktor eksternal seperti waktu atau bahkan menggambarkan Anda sebagai penjahat *sementara, semoga*
Perilaku ini dipicu oleh bias konfirmasi, saat ia memilih kenangan yang memvalidasi keputusannya untuk putus.
Hal-hal yang dia lakukan? Mungkin menulis puisi yang menimbulkan kegelisahan, berolahraga keras di gym, atau membuat rencana yang membahas tentang dirinya dan pertumbuhannya.
Beberapa Bulan Kemudian: Penerimaan dan Melangkah Maju
Yang terakhir, ketahanan emosional mulai muncul. Hal ini dapat diwujudkan dengan berkurangnya penguntitan terhadap media sosial Anda, berinvestasi pada hobi baru, atau bahkan mulai berkencan lagi.
Pikirannya beralih dari “Bagaimana jika?” menjadi “Apa selanjutnya?” Dia mulai memahami lanskap emosinya dengan lebih baik, mulai dari kelegaan hingga pelajaran yang didapat.
Pada tahap ini, dia bahkan mungkin berusaha menutup diri atau menjaga jarak, menerima bahwa inilah saatnya untuk bergerak maju.