Dear Ayah Ibu, Mengapa Kau Membedakan Perlakuan pada Anak-anakmu?
- https://www.pexels.com/@kindelmedia
Orlet - Menurut pengamatan yang dilakukan penulis yaitu dengan mendengar cerita secara langsung dari yang bersangkutan (anak-anak yang merasa diperlakukan berbeda dari saudara-saudaranya) oleh orang tua kandung mereka sendiri memunculkan niat untuk berbagi melalui tulisan ini sebagai bahan renungan juga pelajaran untuk diambil sisi positifnya.
Namun, bagi kalian yang tidak mengalami kejadian yang sama maka dimohon untuk tidak menjudge bahwa ungkapan berikut ini hanya untuk memojokkan orang tua, tidak menghormati orang tua sebab bukan itu tujuan yang sebenarnya. Melainkan untuk sharing agar jangan sampai kita menjadi orang tua yang membedakan perlakuan terhadap anak-anak kandung. Sekarang mari kita lanjutkan pembahasan.
Teringat ucapan salah satu guru SMK saya, beliau mengatakan bahwa semua orang tua yang memiliki anak lebih dari satu pasti rasa kasih dan sayang masing-masing dari mereka akan berat sebelah entah pada anak pertama atau pada anak kedua dan seterusnya.
Akan tetapi, yang membedakan adalah kebijaksanaan orang tua dalam memperlakukan anak-anak meskipun mereka cenderung menyayangi salah satunya, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan pada ikatan persaudaraan yang terjalin antara anak-anak.
Walau pada kenyataannya banyak orang tua yang masih kesulitan untuk melakukannya. Mereka bahkan tak segan membandingkan kakak beradik baik dari segi sikap, sifat, prestasi dan lain-lain.
Padahal perbuatan semacam itu sangat tidak dianjurkan sebab berpotensi menimbulkan perasaan benci terhadap saudara kandung. Apalagi jika ditambah ucapan orang luar yang semakin memperburuk perasaan anak yang dibandingkan dengan saudaranya tersebut. Iya kalau si anak berbesar hati, jika tidak ia akan memusuhi saudaranya sendiri karena dianggap sebagai saingan.
Mungkin orang tua bermaksud agar sang anak termotivasi berubah menjadi lebih baik seperti saudaranya yang tidak pernah berbuat onar, selalu menurut, tidak pernah membangkang, pintar, giat dan rajin, akan tetapi itikat baik yang dilakukan dengan cara yang salah tidak akan pernah berhasil, yang ada justru menimbulkan masalah baru yaitu pertengkaran saudara kandung.
Beberapa cerita dari kawan penulis, dimana mereka merupakan anak pertama yang merasa bahwa apa yang mereka inginkan tidak pernah didukung oleh orang tua.
Kedua orang tua seakan menjadi pematah semangat nomer satu. Sebetulnya mereka hendak memberikan saran, mengarahkan namun tidak mau mendengarkan keinginan sang anak. Anak harus menurut sesuai apa yang dimau orang tua tanpa anak-anak bisa memilih.
Anak pertama yang tidak dipercaya untuk berkembang sendiri. Tapi giliran si adik yang ingin ini dan itu mereka tidak melarang. Saat diprotes, orang tua justru menjawab tidak merasa membeda-bedakan.
Ada lagi kasus yang mana si anak bekerja keras, semangat menabung dengan harapan bisa untuk biaya melanjutkan pendidikan tanpa lupa memberikan jatah uang bulanan kepada orang tua semampu mereka.
Namun, ketika meminta izin untuk kembali kuliah jawaban orang tua sungguh menyakitkan. Giliran si adiknya ini meminta sepeda motor, orang tua berusaha keras memenuhinya dan si anak pertama disuruh mengalah.
Kejadian lainnya adalah anak pertama yang selalu salah dimata orang tua. Terlihat tidak memberikan kontribusi apapun selain hanya memberi beban. Padahal pada kenyataannya sang anak ini cukup berbakti. Mencurahkan tenaganya untuk membantu orang tua menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah.
Namun, yang tampak adalah anak cuma hobi tiduran, rebahan. Sedangkan ketika si bungsu yang aslinya paling malas malah disanjung-sanjung. Sungguh dimana letak kata adilnya?
Masih banyak lagi peristiwa-peristiwa serupa dengan cerita yang berbeda-beda. Terang-terangan mengatakan si adik lebih pintar daripada kakak atau sebaliknya sampai terdengar oleh anak-anak tentu memberikan rasa sakit di hati yang terdalam.
Menorehkan luka pada batin anak bisa menyebabkan trauma. Menganggap bahwa orang tua hanyalah sumber segala kesedihan dan membuat anak menjauh secara perlahan, mengurangi komunikasi dengan orang tua, menarik diri dari berkumpul dengan orang tua walaupun secara fisik mereka tetap ada di samping orang tua, tetap menghormati, menghargai namun secara batin mereka merasa sangat jauh.
Hal tersebut menjadi bahan introspeksi diri kita bahwa tidak bisa sembarangan menyebut anak durhaka karena bisa jadi perlakuan kitalah yang sebenarnya mendorong anak berbuat buruk.
Kendati demikian, sebagai anak janganlah kita keras kepala dan egois hingga tak peduli pada orang tua yang telah membesarkan kita. Bisa jadi kita memiliki kesalahan yang juga menyakiti hati mereka namun kita telah lupa.