Menikah Adalah Tentang Kesiapan Lahir Batin, Bukan Sekadar Nafsu Belaka
Olret – Apa yang kamu impikan saat ini, mengakhiri masa lajang dengan menikah atau mengejar obsesi masa depan yang cerah?
Beberapa pertanyaan menggelitik di atas kadang bermunculan di benak kaum muda. Usia 17 tahun ke atas adalah rentang waktu dimana para remaja mulai menghadapi dilema klasik, menikah dini ataukah mengejar cita-cita.
Apalagi di zaman yang serba digital, badai fitnah dan godaan lawan jenis seringkali membuat jiwa terusik hingga menikah menjadi solusi cerdas demi menyelamatkan diri dari gelombang fitnah.
Terlebih lagi pernikahan menjanjikan milyaran pahala, kenikmatan dan romantisme seakan terbayang jelas didepan mata. Namun siapkah kamu menghadapi segala konsekuensi dari sebuah pernikahan? Ini Masalahnya!
Nikah Antara Idealitas dan Realitas
Ketika menunda nikah dengan dalih agar lebih fokus pada studi, bahkan tak jarang memasang target yang muluk-muluk, seperti kuliah selesai dahulu lantas bekerja beberapa tahun, memiliki rumah, tabungan dan lain-lain baru menjemput jodoh.
Terlihat realistis menurut logika manusia, namun semudah dan sesederhana itukah semua rencana itu diwujudkan? Dua pilihan yang perlu disikapi dengan bijak.
Menikah identik dengan “Mesra, Nikmat, Barakah”, setujukah anda dengan ungkapan ini? Ya, menikah bukan pekerjaan sambilan tapi sebuah ibadah seumur hidup.
Menikah itu mengayakan, ketika kamu yakin dan menjalaninya dalam koridor keikhlasan beribadah pada Allah Ta’ala. Tak sedikit orang mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan justru setelah menjadi pengantin.
Apalagi ketika ia bersanding dengan pendamping yang luar biasa dan mampu mendorong energi besarnya untuk kebaikan pasangannya. Bukankah seringkali kita lihat dan dengar para suami lebih terdongkrak semangat etos kerjanya demi memenuhi tanggung jawabnya menafkahi keluarga.
Hidup ini adalah pilihan, obsesi yang melambung dan rasa percaya diri yang berlebihan, kadang membuat orang terlalu mudah melangkah tanpa memperhatikan manfaat
Menikah Atau Hanya Sekedar Mengejar Obsesi?
Yang dibutuhkan adalah kesiapan lahir batin untuk menjalani salah satunya atau bahkan dua-duanya ketika anda merasa mampu dan siap menghadapi segala resikonya. Ada kalanya dengan menunda nikah ada kemaslahatan besar untuk umat sebagaimana kisah Imam Ahmad bin Hambal yang mengakhiri kesendiriannya diusia 40 tahun.
Bahkan Imam Syafi’i dan Imam Ath-Thobari membujang hingga akhir hayat dan mereka tidak pernah menganjurkan membujang kepada murid-muridnya.
Realita yang kadang dialami pasutri, ketika masih berstatus gadis dan jejaka mereka antusias menuntut ilmu Syar’i, namun tatkala mereka menikah semangat mudanya untuk thalabul ‘ilmi kendor dan padam. Fenomena yang semoga tidak kamu alami.
Sebaliknya, ketika menunda pernikahan dengan alasan mengejar impian, realitanya mereka tidak memiliki komitmen kuat pada target-target masa depannya. Kesendiriannya ia lalui dengan kesibukan yang kurang bermanfaat.
Hidup ini adalah pilihan, obsesi yang melambung dan rasa percaya diri yang berlebihan, kadang membuat orang terlalu mudah melangkah tanpa memperhatikan manfaat dan mafsadah dari sebuah pilihan hidup yang diambilnya.
Disinilah dibutuhkan proses belajar untuk menjadi pribadi yang beraqidah lurus, berakhlak mulia, beramal yang benar, agar mampu menjadi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa.
Seiring berjalannya waktu, kedewasaan dan kebeningan hati akan semakin membuat seorang remaja memiliki jati diri Islami untuk membuat keputusan-keputusan yang tepat demi masa depan dunia dan akhiratnya.