Kisah Nyata: Curhatan Seorang Guru yang Jauh dari Kata Mapan

Guru yang mengajar
Sumber :
  • U-Repot

Olret – Seseorang memintaku untuk menulis, tentang apa pun itu. Katanya, dia akan membantuku mempublikasikan tulisanku ini. Sesungguhnya aku tidak mudah percaya pada seseorang, termasuk pada ucapannya, tapi entah kenapa aku mulai tertarik untuk menulis kembali.

Sebelumnya aku pernah menulis buku tentang kue tapi hanya kugunakan untuk keperluan pribadiku. Maka dari itu, kali ini aku menulis tentang pengalamanku selama menjadi guru.

Entah dari mana aku harus memulai tulisan ini. Ini Curhatan Seorang Guru yang Jauh dari Kata Mapan.

Guru yang mengajar

Photo :
  • U-Repot

Menjadi guru? Tidak pernah sedikitpun terpikir olehku bahwa aku akan menjadi guru.Guru bukanlah profesi “daripada” yang sering diucapkan orang-orang. “Daripada ga ada kerjaan mending ngajar aja”. Bukan. Bukanlah profesi seperti itu.

Sebagai contoh, ketika guru mengatakan pada muridnya bahwa cara melelehkan coklat adalah dengan memanaskannya di atas air mendidih dan api menyala. Maka itu yang akan diingat oleh muridnya dan sang murid akan melakukan hal tersebut sampai kapanpun. Sampai dia menemukan cara lain untuk melelehkan coklat. Padahal, hal itu salah besar. Melelehkan coklat tidak boleh dalam keadaan api menyala, tapi harus mati.

Contoh sederhana lain, ketika guru berkata bahwa 1 + 1 = 3 di depan murid kelas 1 SD, maka hal itu yang akan disampaikannya ke orang tuanya. “Kata guruku 1+1=3” atau “Kata bu guru cara ngerjainnya kaya gini”. Pernahkah mendengar anak kecil berkata demikian? Tentulah pernah.

Murid Beranggapan Bahwa Guru Adalah Orang Pintar, Padahal Kenyataanya Tidak Seperti Itu.

Murid akan berpikir bahwa guru adalah orang pintar dan apa yang dikatakannya adalah hal benar. Kenyataannya tidak seperti itu. Kami hanya membaca materi terlebih dahulu sebelum mengajarkannya kepada kalian.

Kami juga tidak ingin terlihat bodoh di depan kalian, wahai muridku. Kami menggunakan berbagai taktik untuk menutupi kenyataan kalau kami tidak tahu atau tidak bisa menjawab pertanyaanmu saat itu.

Kami akan berkata: “Ah, masa sih?” “Ah, yang bener? Yakin?”“Itu PR buat kalian, cari nanti di rumah”. “Duh, saya lupa apa namanya, tadi inget tapi kenapa sekarang lupa yaa” atau cara terakhir dengan membuat pengakuan. “Ibu ga tau namanya apa, tapi nanti akan ibu cari, itu PR buat ibu”. Aku pernah menggunakan semua kalimat-kalimat itu, tergantung situasinya.

Guru bukanlah makhluk sempurna, tapi itulah yang mereka pikirkan.

Guru juga masih harus membuat segala administrasi pengajaran yang sebenarnya buatku itu hanyalah formalitas semata. Administrasi itu harus dibuat dengan sempurna tanpa cacat dan hal itu berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Bagaimana bisa guru mengajar dengan teknik

Sempurna sesuai dengan yang tertera di administrasi jika fasilitas sekolah tidak memadai?. Guru dipaksa harus mengajar dengan sempurna dalam keterbatasan pendidikan di negara yang kaya akan sumber dayanya ini.

Belum lagi guru juga harus menyelesaikan kasus indisipliner siswanya. Anak dari keluarga broken home, yatim, dan yatim piatu sangat butuh perhatian khusus dalam hal sikap. Anak-anak inilah yang berperan besar dalam mengendalikan emosi guru di sekolah. Apalagi jika orang tua mereka tidak kooperatif dalam perkembangan anaknya.

Kadang Orang Tua Juga Sering Salah Kaprah Terhadap Guru, Mulai Lelah Gak Seh!

Bahkan ada orang tua yang berpikir bahwa selama sang anak belum kembali ke rumah pada jam tertentu di hari sekolah, maka itu adalah tanggung jawab guru atau wali kelasnya. Aku pernah mengalami hal itu. Jawabanku saat itu:

“Maaf Bapak/Ibu saya mengajar di 3 sekolah di 3 kelurahan dengan jumlah murid sebanyak 520 orang siswa yang mana tidak mungkin saya perhatikan semuanya. Saya punya jam kerja di setiap sekolah dan kewajiban saya hanya sampai di jam tersebut, di luar jam itu bukan tanggung jawab saya.

Apalagi jika itu sudah jam pulang sekolah, kecuali anak Bapak/Ibu berurusan dengan pihak kepolisian baru saya akan turun tangan. Sejauh ini saya sudah mencari tau keberadaan anak Bapak/Ibu, jadi tolong tunggu aja. Tolong mengerti. Mohon maaf dan terima kasih.”

Mungkin Terlihat Sadis, Tapi Kenyataannya Begitulah.

Terkesan sadis dan tega, ya? Iya harus begitu. Orang tua lah yang punya tanggung jawab penuh terhadap anak-anak mereka, bukan pihak sekolah. Ah, aku juga pernah didatangi oleh orang tua yang menangisi anak laki-laki mereka yang sudah 2 hari kabur dari rumah karena sehari sebelumnya mereka bertengkar, memang sang anak sudah 2 hari tidak masuk sekolah, dan jawabanku:

“Bu, tunggu aja, ga sampe seminggu anaknya juga pulang kok”. “Kok Ibu bisa tenang sih? Ibu kan wali kelasnya?” Jawab Ibunya sambil sesenggukan. “Bu, anak Ibu termasuk salah satu anak yang mendapat perhatian khusus dari saya. Saya tau gimana karakter anak Ibu. Saya yakin anak Ibu ga akan kabur lama-lama, paling lama seminggu, paling cepet besok malem juga pulang” Jawabku untuk meyakinkan sang Ibu.

Dan keesokan siang harinya aku dapat telpon dari sang Ibu yang mengatakan bahwa anaknya sudah pulang sendiri pada jam 8 pagi hari.

Itu anak laki-laki, pernah juga terjadi dengan anak perempuan dengan kasus yang sama. Reaksiku pun sama. Tapi untuk kali ini aku katakan bahwa anaknya tidak akan pergi lebih dari 3 hari. Yes, prediksiku tepat, dai kabur hanya 2 hari 1 malam.

Aku bisa bersikap seperti itu karena setiap guru pasti mempunyai penilaian terhadp seluruh murid-muridnya terutama yang guru yang menjadi wali kelasnya. Aku juga begitu, punya peta perilaku. Aku memetakan mereka menjadi beberapa golongan, seperti golongan genius skill, genius academic, golongan ember, golongan ABK, dan lain-lain.

Lain halnya dengan ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Anak berkebutuhan khusus disini bukanlah anak dengan kelainan fisik tetapi anak yang terlahir dengan gangguan psikomotorik, seperti autism, down syndrome, ADHD, dan lain-lain. Mereka memang terlahir secara spesial nan istimewa. Ketika mereka sudah tantrum, aku harus berpikir cermat bagaimana caranya meredakan “tantrumnya” tanpa melukai dirinya sendiri dan teman-temannya. Beruntung, mereka tidak pernah melukaiku. Alhamdulillah…

Konsultasi Juga Kadang diperlukan, Tapi . .

Untuk anak-anak seperti ini aku juga memberikan sedikit konseling pada orang tuanya dalam hal makanan karena ada beberapa bahan makanan yang tidak boleh dikonsumsi oleh penderita autis dan ADHD. Konsultasi aku berikan secara hati-hati tanpa bermaksud menggurui dan melukai hati sang orang tua karena mereka tidak pernah membawa anaknya terapi atau bahkan konsultasi ke psikolog. Mungkin karena keterbatasan ekonomi. Aku paham akan hal itu.

Bukan hanya itu, aku pernah menemukan bahwa muridku sepertinya mengidap speech delay dan dysleksia. Aku katakan hal itu pada orang tua mereka bahwa anak-anak mereka sepertinya harus diperiksakan ke psikolog anak. Aku berani mengatakan hal itu setelah aku melakukan riset kecil berdasarkan buku dan diskusi dengan beberapa temanku yang seorang psikolog dan dokter. Tapi tidak ada satupun dari mereka yang menerima saranku. Sesuai perkiraanku.

Itu adalah bagian dukanya. Bagian sukanya adalah saat aku didatangi oleh muridku yang telah lulus sambil membawa sekotak besar kue yang diberikan khusus untukku. Bukan kuenya yang membuatku berkesan, tapi dia mengingatku padahal aku tidak mengingatnya. Dia lulus dua tahun lalu tapi masih mengingatku.

Ceritanya saat itu aku pergi dinner dengan rekan-rekanku di sebuah mall di kawasan GBK setelah menyelesaikan hari kedua workshop tentang gizi remaja dan dewasa dari kementrian kesehatan RI.

Kami bosan dengan makanan yang disajikan hotel sehingga memilih makan di luar. Saat itu katanya dia melihatku dan langsung mempersiapkan sebuah kue yang sudah dia buat untuk dijual di toko kue tempat dia bekerja tapi karena dia melihatku maka dia langsung berniat memberikan kue itu padaku.

Oooh.. aku terharu. Terima kasih, sayang..

Sebenarnya masih banyak lagi yang aku alami selama tiga tahun menjadi guru tapi aku rasa pengalamanku menjadi guru masih tidak ada apa-apanya tetapi setidaknya aku pernah mengalami itu semua. Aku pernah menjadi wali kelas untuk siswa autis dan ADHD, anak broken home, yatim, yatim piatu, dan anak dari kalangan ekonomi sangat rendah.

Satu hal yang aku syukuri, bahwa semua ilmu aku yang dapatkan selama kuliah di Pendidikan Tata Boga UNJ tidak terbuang sia-sia. Aku bisa menerapkan ilmu mikrobiologi, ilmu gizi, ilmu pengolahan aneka makanan, ilmu komunikasi, ilmu kependidikan, dan ilmu psikologi. Bahkan aku harus belajar lebih dalam lagi tentang ilmu pendidikan, ilmu menjadi guru, ilmu psikologi baik itu psikologi anak, psikologi pendidikan, maupun manajemen psikologi pribadi.

Intinya, guru bukanlah makhluk sempurna, guru juga manusia biasa seperti kalian.

Bolehkah aku titip pesan pada pemerintah?

Kalo menteri kesehatan harus wajib dari lulusan dokter, maka menteri pendidikan dan wakilnya juga wajib harus dari kalangan pendidik. Mereka harus punya gelar S.Pd (B.Ed), M.Pd, PhD. Ed, yang semuanya sebidang (bidang pendidikan) tanpa melenceng atau alih program ke master bisnis atau doctor bidang ekonomi dan sebagainya. Itu semua agar pendidikan di Indonesia dapat bangkit dan pemerataan pendidikan tidak hanya dijadikan sebagai wacana dalam sebuah surat kabar semata serta kesejahteraan guru dapat ditingkatkan.

Hanya ini yang bisa aku katakan saat ini.

Lelah.. sangat lelah.

Bahagia.. biasa aja.

Semoga ilmuku bermanfaat.

Semoga menjadi berkah.

Depok, 09/24/2018

Ps:

Untuk alasan privasi, aku ga bisa memasukkan foto-foto mereka di sini, walaupun aku ingin.

Artikel ini merupakan kirimin pembaca setia olret.