Part 2 : Teror Pasangan Pendaki Mistis di Gunung Ciremai
- https://ngayap.com/
"Setan apa aja ngga bisa nyelakain kalo Ujang inget Gusti Allah. Cuma Allah sebaik-baiknya pelindung. " Sambung si Bapak lagi.
Setelah Isya. Aku mengisi carrierku dengan dua botol air mineral. Ku cek lagi headlamp juga senter. Semua siap. Ku tengok sekali lagi keadaan Ayu. Dia sedang tertidur, dan masih ditemani si ibu tua. Ibu itu tersenyum kepadaku seperti memberi restu. Diluar aku sudah ditunggu si Bapak. Aku mencium tangannya sekaligus minta dibantu doa.
Lalu si Bapak memberikanku sebuah bungkusan dari kain putih. Aku bertanya, "apa ini pak? " "Bungkusan ini isinya tanah. Nanti tanah ini kamu sebar di gubuk belakang Condong Amis ya. Kainnya kamu bawa. Nanti kalo ketemu yang kamu cari, kain ini buat bungkusnya. "
Sekali lagi aku mengangguk. Lalu dengan menarik nafas dalam, aku berangkat.
Seekor burung berkaok-kaok entah dimana mengikuti setiap langkahku. Satu-satunya penerangan hanya cahaya senter yang kurahkan ketanah. Aku sengaja memfokuskan pandangan ke langkah kakiku. Semakin jauh kuberjalan, bayangan horror malam itu kian menjadi nyata. Tapi tiap kali bayangan itu muncul segera kutepis jauh-jauh walau sia-sia.
Aku berhenti dibatas ladang. Didepanku sekarang membentang hutan pinus. Aura mistis menjalar dari semua tempat. Dengan mengucap bismillah, aku melangkah. Tiba-tiba aku mencium bau busuk yang sangat pekat. Bulu kudukku langsung berdiri. Cahaya senter bergoyang akibat tanganku yang gemetar hebat. Aku tetap memaksa untuk maju walau pelan. Setiap kali aku ingin berbalik dan lari aku selalu diingatkan sosok Ayu yang sedang tertidur saat tadi kutinggal.
Bau busuk itu hilang, berganti bau melati. Sumber baunya begitu dekat, seakan-akan tepat dibelakangku.
Bulu diseluruh tubuhku meremang membayangkan sosok apa dibelakang. Aku menunggu tangan sedingin es menyentuh tengkukku. Aku istighfar dan berjalan makin cepat.
Dalam situasi seperti ini tiba-tiba aku teringat legenda Nini Pelet yang konon berkeliaran diantara pohon-pohon pinus diwilayah ini diwaktu malam. Juga sosok Nyai Kembang, pengantin wanita yang mati saat tengah mengandung dan mayatnya dibangkitkan. Pikiran tentang Nyai Kembang dengan wajah pucatnya menyeringai dibelakangku cukup membuatku langsung berlari panik.
Entah berapa lama aku lari tanpa mempedulikan jalan yang mulai menanjak. Bayangan Nyai Kembang yang menyeringai sungguh menerorku. Hingga akhirnya aku tersungkur karena kakiku terkait akar pohon melintang. Sekitarku bukan lagi hutan pinus, melainkan pohon pohon tua raksasa.