Part 2 : Teror Pasangan Pendaki Mistis di Gunung Ciremai

alasan mendaki gunung merbabu
Sumber :
  • https://ngayap.com/

Bapak itu langsung keluar, menemui beberapa orang yang sejak tadi diam-diam mendengarkan pembicaraan kami. Dari suaranya mungkin ada sekitar empat orang. Tapi aku sama sekali tidak paham apa yang dibicarakan karena dalam bahasa sunda. Tapi naik turun intonasi obrolan mereka yang pastinya membicarakan aku dan Ayu membuatku merasa tidak enak.

Stop! Ini 6 Perilaku Mengendarai Sepeda Motor yang Membahayakan, Nyawa Bisa ke Alam Baka

Jam ditanganku menunujukkan jam 11 siang. Buat orang yang habis-habisan diteror tadi malam, tak terbayangkan gembiranya melihat cahaya matahari. Aku melihat carrierku dan Ayu ada dipojok ruangan, juga sepatu milik Ayu. Kubuka carrierku mencari handphone dan charger saat kudengar erangan suara Ayu. Suaranya ada diruang sebelah. Bulu kudukku kembali berdiri. Apakah cobaan ini belum selesai?

Aku memberanikan diri melongok ke ruangan sebelah. Hatiku langsung mencelos melihat keadaan Ayu. Satu orang ibu-ibu tua sedang memijit kening Ayu sambil komat-kamit.

Part 3 : Teror Pasangan Pendaki Mistis di Gunung Ciremai

Tiga orang lainnya memegangi tangan dan kakinya. Ayu sendiri sedang berontak hebat berusaha melepaskan diri. Badannya dilentingkan keatas kebawah dengan brutal, kakinya berusaha menendang orang yang memeganginya. Matanya merah melotot hingga nyaris keluar. Ketika dia melihatku, ayu tertawa mendesis mirip ular lalu berteriak histeris.

Aku shock melihat keadaan Ayu. Hingga Cuma bisa beridiri ditempat. Bapak tadi lalu menarikku, dan kembali menyuruhku meminum air teh tadi.

Part 1 : Teror Pasangan Pendaki Mistis di Gunung Ciremai

“Jangan kesitu jang, disini aja.” Kata si Bapak.

“temen saya pak….” Kataku tanpa bisa meneruskan kalimat.

“Sebentar lagi ngga apa-apa. Udah disini aja.”

Aku diam. Tanganku yang memegang gelas teh gemetar pelan. Tiba-tiba aku teringat dengan meeting bulanan. Pekerjaan yang memaksaku untuk terus turun walau ada keinginan untuk ngecamp semalam lagi. Terlambat sudah. Aku membayangkan muka murka atasanku atas ketidakhadiranku. Laporan-laporan yang harus kuserahkan, wajah kecewa rekan-rekanku. Aku mendesah.

“Pak, kira-kira sore temen saya udah normal belum yak? Bis arah Jakarta sampe malem kan ya Pak? Saya hari selasa harus sudah ngantor pak.” Tanyaku pada si Bapak. Si bapak menjawab ringan, tapi bagai petir di telingaku,”sekarang teh hari rabu jang.”

Halaman Selanjutnya
img_title