Pendakian Gunung Lawu, Gunung Penuh Dengan Mistis di Jawa Timur
- Viva/Idris Hasibuan
Olret – Karena hal paling penting dari sebuah pendakian bukan hanya menapaki puncak tertinggi, melainkan proyeksi diri atas segala kecakapan pribadi. Selain itu, Perjalanan ke gunung, sebenarnya bukan hanya perkara menemukan tapi perjalanan bermakna dalam demi melekatkan sebuah ikatan.
Ya itulah arti pendakian bagi saya yang masih tergolong pendaki pemula atau mungkin saya lebih suka menyebutnya sebagai traveller. Iya merekatkan sebuah ikatan bersama orang baru yang dikenal ketika bersua di jalur pendakian dan merekatkan hubungan dengan sahabat dengan banyolan yang keluar dari mulut begitu saja.
Pendakian ini sebenarnya pendakian yang begitu direncanakan dengan sungguh matang oleh teman saya yang bernama Rahman karena dia memang hobbi mendaki bahkan sudah lebih 17 gunung yang sudah dia gapai.
Sedangkan saya, ini hiking ke tiga saya setelah Gunung Merapi pada tahun 2015 dan Gunung Prau tahun 2017. Awalnya saya memang tak berniat untuk mendaki sama sekali karena trauma ketika berteman dingin menuju puncak Gunung Merapi.
Tapi akhirnya saya putuskan untuk mengikuti pendakian Gunung Lawu dari Jakarta dengan menggunakan Kereta Api (Rahman dan Saya) sedangkan teman saya Sukma dan Nurul berangkat dari Kalimantan dan janjian bersua di Solo Jebres.
Awalnya saya kira ini perjalanan yang tiada arti, tapi sungguh jika boleh memutuskan. Sejak menekuni dunia travelling, ini lah pengalaman yang paling berharga dalam hidupku. Perjalanan dengan low budget dengan kereta, nyasar di pos 4 dan kebakaran di pos Bulak Peperangan. Masih banyak kisah lainnya yang tak bisa kusebutkan satu persatu.
Pasar Senin Menuju Solo Jebres, di Kereta Juga Bisa Merekatkan Persahabatan.
Sebenarnya, tujuan saya mendaki bukanlah untuk keren-kerenan atau hanya sekedar ingin membuktikan bahwa saya bisa mendaki gunung lawu yang merupakan gunung ke dua tertinggi di Jawa Timur.
Tapi lebih kepada menghabiskan waktu bersama sahabat yang sudah lama tak bersua (Sukma dan Nurul) dan tentunya ingin lebih akrab juga dengan Rahman karena memang saya mengenalnya ketika traveling ke Suku Baduy ( 2 Bulan sebelum pendakian gunung lawu).
Dengan perjalanan lebih dari 8 jam, saya dan Rahman banyak menghabiskan waktu untuk mengobrol, sharing tentang travelling, percintaan sampai dengan hal-hal yang tidak penting. Suasana dalam kereta juga sungguh nyaman, bersih dan tentunya tidak kelaparan karena sudah ada kantin dan sesekali pramusaji juga menawarkan makanan dan minuman.
Selain itu, perjalanan dengan menggunakan kereta juga memberikan pengalaman yang tidak bisa dinilai dengan rupiah. Pemandangan yang epik selama perjalanan dari jendela kereta juga sungguh menjadi anugrah Tuhan yang tidak boleh dilewatkan begitu saja tanpa harus menikmati dan mengabadikannya dalam lensa kamera secara apik.
Pendakian Dengan Kurang Lebih 12 Jam Menuju Puncak Hargo Dalem, Sungguh Tekad dan Kesabaran Akan di Uji
Pendakian kali ini memang ditemani oleh sahabat-sahabat yang sangat asyik tetapi sejatinya di gunung akan membuktikan semua sifat asli kamu. Awalnya perjalanan ini masih santai dan penuh kebahagian sampai menuju pos 3, hingga akhirnya kejadian demi kejadian mulai menguji kesabaran, kesetiakawanan sampai dengan egoisme.
Kondisi tubuh yang sudah mulai lelah, beban berat di pundak hingga tanjakan yang terus menerus mulai dari kemiringan 60 sampai 85 derajat membuat kondisi fisik semakin turun drastis. Perselisihan antara kami pun mulai ada sedikit demi sedikit karena keinginan yang berbeda, di mana ada yang ingin istirahat dan lainnya ingin terus berjalan karena waktu yang semakin sore.
Bukan hanya itu saja, kejadian nyasar menuju pos 4 juga menimpa kami. Memang benar, jika gunung lawu terkenal dengan mistisnya kami juga merasakannya. Kami sadar ketika ada burung jalak di depan kami yang seolah menghalangi langkah kaki, dan kami memutuskan berbalik arah.
Bukan hanya itu, setelah kami mendirikan tenda di pos 5 tepat sebelum jam 6 sore dengan kondisi tubuh yang lelah dan rasa lapar yang mulai menghampiri. Menjelang pagi hari atau diperkirakan jam 2 pagi, kami harus berdoa dan dicekam rasa ketakutan yang sungguh luar biasa karena di pos gupak menjangan terjadi kebakaran hebat akibat ulah pendaki yang tidak bertanggungjawab.
Berat memang mengambil keputusan untuk tetap bertahan di tenda, dan membiarkan suara para pendaki dan para ranger berlalu begitu saja dengan kalimat "ada kebakaran,semua pendaki diharuskan turun".
Tapi mau bagaimana lagi, jika kami mengikuti anjuran para ranger, kami juga tak luput dari bahaya karena keadaan tubuh yang sudah tidak memungkinkan untuk berjalan. Mulai dari bahaya hypotermia sampai dengan bahaya pingsan karena kedinginan dan terus berjalan jika dipaksa.
Warung Mbo Yem, Warung Paling Tinggi di Indonesia Menjadi Saksi Keindahan Gunung Lawu
Warung Mbok Yem, merupakan warung paling tinggi di Indonesia karena berada di ketinggian kurang lebih 3.300 mdpl
Dan sebelum kami melakukan tracking untuk turun, kami juga bermalam di warung mbok yem bersama pendaki lainnya karena tidak ingin mendirikan tenda lagi untuk menghemat tenaga dan waktu. Hingga akhirnya pagi pun datang dengan sinar mentari dan sunsed yang menawan. Meski dingin menusuk sampai ke ulu hati.
Setalah sarapan, kamu memutuskan menjelajahi sendag drajat kemudian langsung menuju pos pendakian lagi. Tak berebeda jauh ketika mendaki, ketika turun juga kami masih berjuang dengan sisa-sisa tenaga yang ada dan tentunya tekad yang bulat demi kembali dengan selamat.
Karena tujuan dari pendakian bukanlah menuju puncak melainkan melawan ego dan kembali dengan selamat ke rumah.
Stasiun Solo Jebres, Menjadi Saksi Bisu Pendakian Menuju Puncak Gunung Lawu Nan Mistis
Stasiun solo Jebres, menyambut kami dari Jakarta dengan bahagia dan melepaskan kami dengan suasana haru
Karena pendakian ini kami mneggunakan kereta api, tentu solo menjadi salah satu saksi bisu kisah dramatis ketika menggapai puncak gunung lawu. Stasiun Jebres salah satunya, stasiun dengan bangunan apik yang dibangun pada tahun 1884 oleh Staatspoorwegen (SS).
Stasiun Jebres terletak di Jebres yang dulu masuk wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Atas prakarsa Susuhunan Pakubuwono X (bertahta 1893 – 1939), stasiun yang melayani jalur ke timur Solo melewati Sragen ini memiliki arsitektur indish yang cantik dan megah hasil rancangan Thomas Karsten.
Ketika menginjakkan kaki pertama di Stasiun ini, suasana khas solo yang penuh sopan santun sangat terasa disini. Petugas KA yang ramah serta papan informasi yang jelas membuat kami tidak kewalahan mencari arah tujuan kami selanjutnya.
Dulu, Jogja menjadi kota yang ingin saya selalu datangi dan kini buka hanya Jogja, melainkan ada Solo karena suasana kota ini juga sangat cocok buat traveler dan tentunya sangat mudah di jangkau dengan kerete api. Jadi jangan salah, melakukan perjalanan dengan menggunakan kereta api juga sangat menyenangkan.