Kamu Yang Sudi Menerima Kekuranganku, Terimakasih Atas Cintamu yang Tulus
Olret – Kursorku berkedip-kedip tak mau berhenti, pun ia tak menuliskan apapun. Ia membiarkan lembar putih ini tetap putih. Mereka menunggu tanganku menekan tuts tuts keyboard pada setiap huruf menanti kalimat yang seharusnya ku tulis.
Sayangnya, aku tak memiliki ide apapun. Mataku tertuju pada ponsel biru ku yang tergeletak disamping notebook merah yang menjadi saksi betapa hecticnya proses lulusku tiga tahun yang lalu.
Layar ponselku tetap gelap, tak berbunyi satu notifikasipun, bahkan lampu indikator hijaunya semakin lama membuatku semakin kesal karena nyatanya tak ada pesan darimu satupun yang masuk. Kau kemana? Kau pergi tiba-tiba seperti yang lainnya setelah ku ceritakan segalanya? Lantas, ajakanmu hari itu, kau hanya bercanda ya?
Aku menutup paksa layar notebook dihadapanku. Pergi ke dapur untuk mengambil minum. Ku pikir aku perlu air untuk mendinginkan pikiranku sendiri.
Di tengah tegukan air minumku yang kedua, aku mendengar suara ketukan. Ragu-ragu aku menghampiri pintu. Hanya saja tiba-tiba kudengar suara kucing yang sedang bertengkar di luar. Ah, aku tak berharap kau yang mengetuk pintuku barusan. Jika memang kau mau pergi yasudah pergi saja. Kenapa harus bercanda begini?
Aku kembali melangkahkan kakiku menuju dapur, membuka kulkas dan mengembalikan botol minum yang tadi kuambil. Persetan dengan siapa yang mengetuk pintu barusan. Siapa peduli. Aku hanya perlu lebih fokus, deadline artikelku sudah didepan mata dan aku tak punya ide sama sekali.
Aku melangkahkan kaki masuk kekamarku kembali. Mengambil gitar di pojok kamar yang telah lama tak ku mainkan. Gitar akustik yang kubeli dengan corak yang sama dengan miliknya saat ia baru saja lulus kuliah enam tahun lalu.
“Kalau kangen, mainin gitarnya. Soalnya nggak selamanya bulan sama bintang bakalan muncul di langitkan? Aku nggak janji bakalan bisa nemenin kamu terus, jadi kalau kangen obatin sendiri pake gitar ini ya.” Katanya hari itu.