Melesarikan kesenian tradisional Angklung Gubrag
- u-report
Menggunakan alat musik angklung gubrag untuk dijadikan iring-iringan pada saat nandur bukanlah tanpa alasan. Masyarakat Sunda telah mempercayai bahwa suara rampak yang dihasilkan dari alat musik angklung gubrag dipercaya bisa menggetarkan tumbuh-tumbuhan, sehingga padi dapat cepat tumbuh.
“Pernah datang dahulu seorang peneliti dari Jepang untuk melakukan penelitian ke sini, ternyata hal ini memang benar, seharusnya tanaman padi diberikan bunyi-bunyian serta juga diperlakukan layaknya sesama makhluk hidup agar mereka cepat tumbuh ditengah-tengah kita.
Jepang memang dikenal telah maju, namun mereka tidak meninggalkan akar serta tradisi yang berkembang dimasyarakat, tidak seperti halnya kita,” ucap salah seorang masyarakat penggiat budaya.
Pada dasarnya Angklung Gubrag ini dibuat dari bambu hitam, karena selain juga sering ditemukan di sekitaran Jawa Barat, bambu hitam ini juga bisa menghasilkan suara yang lebih nyaring dibandingkann jenis bambu yang lainnya.
Pada bagian atas angklung gubrag ini akan dihiasi dengan kembang wiru, yang nantinya akan bergoyang apabila angklung dimainkan. Berbeda halnya dengan angklung pada umumnya, angklung gubrag tidak memiliki tangga nada.
Namun meski demikian, angklung jenis ini memiliki 6 (enam) bilah angklung yang masing-masing diberi nama, diantaranya adalah bibit, anak bibit, engklok 1, engklok 2, gonjing, serta yang terakhir panembal.
Mengikuti perkembangan zaman sekarang, angklung gubrag kini tidak hanya dimainkan pada saat tanam atau panen saja, namun juga dimainkan ketika didalam suatu acara, seperti penyambutan tamu, pernikahan adat, dan juga di berbagai ritual dalam seren taun.