Jadilah Pendamping Hidupku. Karena Ku Ingin Menjagamu Hingga Akhir Hayatku
- freepik.com
Olret – Be My Girl
I’ll be your man
I see my future in your eyes
Bagas terbangun dari tidurnya. Melepaskan earphone yang terpasang di telinga, duduk dan kemudian memandang layar pada ponselnya. Perfect milik Ed Sheran membuatnya tersadar akan hal yang harus ia lakukan. Bagas terdiam, berpikir sejenak. Sejurus kemudian tangannya menari-nari di atas touchpadnya.
Lalu, mengirimkan pesan yang ia tulis dengan singkat kepada seseorang yang berhari-hari mengganggu pikirannya. Ia kemudian membaringkan dirinya sejenak. Menutup mata.
Ia sedang berusaha tidur di hari liburnya setelah banyaknya liputan yang harus ia kerjakan. Sialnya, di sela banyaknya kesibukan yang harus ia lakukan akhir-akhir ini, pikirannya tetap dipenuhi akan tanya dalam dirinya sendiri terhadap seseorang.
“Aaghh!! Enyah kek dari pikiran gue. Gue mau tidur sebentar. Tolong.”
Bagas mengerang kesal. Memohon dengan penuh iba kepada semesta untuk mengizinkannya tertidur. Ia kemudian menghitung domba. Entah pada hitungan keberapa, Bagas telah masuk ke alam bawah sadarnya.
Olret – Be My Girl
I’ll be your man
I see my future in your eyes
Bagas terbangun dari tidurnya. Melepaskan earphone yang terpasang di telinga, duduk dan kemudian memandang layar pada ponselnya. Perfect milik Ed Sheran membuatnya tersadar akan hal yang harus ia lakukan. Bagas terdiam, berpikir sejenak. Sejurus kemudian tangannya menari-nari di atas touchpadnya.
Lalu, mengirimkan pesan yang ia tulis dengan singkat kepada seseorang yang berhari-hari mengganggu pikirannya. Ia kemudian membaringkan dirinya sejenak. Menutup mata.
Ia sedang berusaha tidur di hari liburnya setelah banyaknya liputan yang harus ia kerjakan. Sialnya, di sela banyaknya kesibukan yang harus ia lakukan akhir-akhir ini, pikirannya tetap dipenuhi akan tanya dalam dirinya sendiri terhadap seseorang.
“Aaghh!! Enyah kek dari pikiran gue. Gue mau tidur sebentar. Tolong.”
Bagas mengerang kesal. Memohon dengan penuh iba kepada semesta untuk mengizinkannya tertidur. Ia kemudian menghitung domba. Entah pada hitungan keberapa, Bagas telah masuk ke alam bawah sadarnya.
Hana memutar-mutar ponselnya. Menatap layarnya berkali-kali. Ia tak percaya Bagas muncul lagi setelah sekian lama. Hana kira Bagas telah membencinya setelah apa yang ia katakana kepada Bagas beberapa waktu lalu.
Dengan begitu keras dan ditempat ramai, Hana meneriaki Bagas karena sedang kesal. Bagas yang juga saat itu sedang lelah setelah tiga hari berturut-turut lembur tetap mau menemani Hana yang ingin menonton film.
Mereka usai menonton pukul 21.30. Bagas yang khawatir karena Hana baru saja sembuh dari sakit mengajaknya pulang dengan sedikit paksa tatkala Hana masih ingin pergi melihat-lihat di mall tempat mereka nonton.
“Lo kalau mau balik, balik aja Gas. Lagian lo bukan siapa-siapa gue kok. Jangan larang-larang gue deh!” Hana meneriaki Bagas tepat di pintu keluar bioskop. Ia kemudian mengibaskan tangan Bagas dan pergi kemudian.
Hana kemudian mengetik balasan pesan untuk Bagas. Ia menerima semua konsekuensi yang akan ia terima dari Bagas setelah ini. Lagipula, siapa yang tak sakit hati diteriaki demikian rupa di muka umum? Hana menghela napasnya berat. Kesal dengan sikapnya sendiri tempo hari.
Asap menari-nari di meja nomor 25, di sudut café “Rasa.” Sudah sepuluh menit pemilik kursi itu duduk berhadap-hadapan. Tetapi diantara keduanya tak jua membuka obrolan. Mereka hanya mengucapkan kata “terima kasih” saat pesanan mereka datang, tersenyum kepada pelayan, lalu hening kemudian. Gemericik hujan yang mulai berdatangan menjadi latar. Mengisi keheningan diantara keduanya yang tak jua segera membuka obrolan.
Hana merasa sedang di hukum. Ia tak suka jika berada dalam keheningan. Tetapi ia juga yang menjadi sorotan. Hana memalingkan muka, menatap hujan. Ia tak berani menatap Bagas yang juga sedang sibuk dengan pikirannya sendiri hari ini. Bagas yang sedang mengumpulkan keberanian. Bertanya-tanya sendiri akan semua konsekuensi yang ia terima. Bagas kemudian menghela napas kencang. Keheningan ini harus diakhiri.
“Huft…” helaan napas Bagas yang cukup terdengar jelas kini membuat Hana kembali duduk menatap Bagas. “Hana, lo mau jadi istri gue nggak?”
Petir menyambar. Suara gemuruhnya begitu kencang. Hana yang takut akan suara petir kemudian menutup telinganya, memejamkan mata. Dadanya berdebar kencang. Bagas yang mengerti Hana ketakutan duduk berpindah disamping Hana. Meminta air mineral kepada pelayan café, dan duduk menepuk punggung Hana perlahan.
Setelah merasa mulai tenang, Hana kemudian membuka matanya perlahan. Detak jantungnya mulai kembali tenang, walau diluar sana suara petir masih menyambar dengan pelan. Ia kemudian menerima air mineral yang Bagas berikan, dan tetap membiarkan Bagas menepuk punggungnya perlahan, karena hanya itu yang Hana butuhkan.
Bagas adalah sosok teman yang selalu ada untuk Hana. Sejak mereka sekolah menengah pertama, Bagaslah yang menemani dan menjaga Hana. Bagas jugalah yang menjadi tempat Hana mengadukan segala keluh kesahnya.
Bahkan saat ayah Hana meninggal 3 tahun lalu, Bagas menemani Hana berhari-hari, bahkan sempat mengambil cuti hanya untuk memastikan Hana tetap baik-baik saja setelah duka mendalamnya. Bagas juga tak pernah luput memastikan keadaan Hana saat ia sedang sibuk bekerja.
Bagas yang melihat Hana masih melawan takutnya, melupakan niatan awalnya mengapa mengajak Hana bertemu kali ini. Ia hanya mementingkan keadaan Hana untuk tenang kali ini.
“Udah, Gas. Gue udah gak papa kok.”
Bagas menghentikan menepuk punggung Hana. Saat benar-benar yakin bahwa Hana telah baik-baik saja ia kemudian kembali ketempat duduknya.
“Cincinnya mana?” pertanyaan Hana membuat Bagas terperanjak. Tatapan mata Bagas seperti tak percaya jika sebenarnya Hana sempat mendengar pernyataan Bagas sebelum suara petir membuatnya takut kemudian.
“Gue denger kok tadi. Cuma petirnya aja yang ngeduluin jawab. Lo, nggak bawa cincin ya? Ckckck, yaudah kalau nggak bawa. Jadi, kapan mau ngomong langsung ke Ibu sama Abang gue kalau lo ngelamar gue?
Gue pikir, lo ngajak gue ketemu karena ini pertemuan terakhir kita setelah kejadian hari itu, Gas. Ternyata malah ngajakin gue buat bisa ketemu lo tiap hari sampai tua ya, selain kalau gue ditinggal liputan?”
Bagas tak tahu harus menjawab apa. Kebingungannya kini berubah menjadi bahagia. Ia kemudian mengirim pesan kepada papanya,
“Misi berhasil, Pa. Segera laksanakan rencana kedua.”