Kisah Nyata: Curhatan Seorang Guru yang Jauh dari Kata Mapan
- U-Repot
Kami juga tidak ingin terlihat bodoh di depan kalian, wahai muridku. Kami menggunakan berbagai taktik untuk menutupi kenyataan kalau kami tidak tahu atau tidak bisa menjawab pertanyaanmu saat itu.
Kami akan berkata: “Ah, masa sih?” “Ah, yang bener? Yakin?”“Itu PR buat kalian, cari nanti di rumah”. “Duh, saya lupa apa namanya, tadi inget tapi kenapa sekarang lupa yaa” atau cara terakhir dengan membuat pengakuan. “Ibu ga tau namanya apa, tapi nanti akan ibu cari, itu PR buat ibu”. Aku pernah menggunakan semua kalimat-kalimat itu, tergantung situasinya.
Guru bukanlah makhluk sempurna, tapi itulah yang mereka pikirkan.
Guru juga masih harus membuat segala administrasi pengajaran yang sebenarnya buatku itu hanyalah formalitas semata. Administrasi itu harus dibuat dengan sempurna tanpa cacat dan hal itu berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada. Bagaimana bisa guru mengajar dengan teknik
Sempurna sesuai dengan yang tertera di administrasi jika fasilitas sekolah tidak memadai?. Guru dipaksa harus mengajar dengan sempurna dalam keterbatasan pendidikan di negara yang kaya akan sumber dayanya ini.
Belum lagi guru juga harus menyelesaikan kasus indisipliner siswanya. Anak dari keluarga broken home, yatim, dan yatim piatu sangat butuh perhatian khusus dalam hal sikap. Anak-anak inilah yang berperan besar dalam mengendalikan emosi guru di sekolah. Apalagi jika orang tua mereka tidak kooperatif dalam perkembangan anaknya.
Kadang Orang Tua Juga Sering Salah Kaprah Terhadap Guru, Mulai Lelah Gak Seh!
Bahkan ada orang tua yang berpikir bahwa selama sang anak belum kembali ke rumah pada jam tertentu di hari sekolah, maka itu adalah tanggung jawab guru atau wali kelasnya. Aku pernah mengalami hal itu. Jawabanku saat itu: