Part 6 : Teror Gunung Dempo Pagar Alam Sumatera Selatan

Gunung Kawi
Sumber :
  • instagram

Olret – Untuk Part 5 : Teror Gunung Dempo Pagar Alam Sumatera Selatan, setelah kejadian-kejadian yang menegangkan. Masih berlanjut dan membuat kami semakin putus asa.

Rindu Ini Tak Pernah Ku Tinggalkan Sendirian

Jantungku seakan digenggam lalu ditarik dengan keras. Kabut berkelebat, aku berteriak dengan histeris sambil menunggu tubuh atau kepalaku hancur membentur dasar jurang. Tapi dalam kepasrahan aku merasakan kakiku tidak menapak udara kosong, melainkan tanah yang padat.

Dalam sekejap aku menyadari keberadaanku. Rasa takut, tak percaya dan lega berkumpul menjadi satu. Kami semua belum mati! Entah bagaimana tiba-tiba kami semua sudah ada di tengah jalur Dinding Lemari!

Pesan Pendaki Ini Viral di TikTok : Jika Tak Mampu Bawa Sampah Sendiri, Rebahan Saja di Rumah

Kulihat di kanan kiriku Ale dan Anes yang menangis tersedu-sedu, juga Bang Idan yang wajahnya terlihat sangat shock tapi tetap menggenggam Bang Amran dan Yuni di kedua tangannya. Dia juga yang langsung memberi kami aba-aba agar segera turun dari Jalur Dinding Lemari ini.

Saat kami tiba di dasarnya, Bang Idan segera mengangkat kedua tangannya, mengucapkan Alhamdulillah, lalu kudengar dia juga berkali-kali mengucapkan terima kasih ke arah Yuni.

"Makasih Nenek Setue, makasih Nenek Setue sudah menyelamatkan kami. Alhamdulillah ya Allah." Bang Idan mengulang-ulang ucapannya. Bang Idan juga menyuruh kami berterima kasih pada mahkluk yang masuk ke tubuh Yuni, juga pada Allah. Rupanya makhluk harimau itu datang untuk menolong kami.

Menurunkan Berat Badan 7 Hari Dengan 4-5 Kg, Berikut Ini Menu Detoksnya!

Di tempat itu kami semua beristirahat dan menenangkan deru jantung. Bang Amran nampak sudah sadar, tak lagi mengoceh tak karuan, tapi dia sedikit linglung. Begitu juga Yuni. Walau belum sadar sepenuhnya--karena masih terdengar geraman-geraman halus dalam nafasnya--tapi sudah tak bergerak dengan liar. Ale dan Anes terduduk bersandarkan batu, seluruh pakaiannya basah oleh keringat.

"Bang, aku mau tanya bang," Aku bertanya pada Bang Idan sambil menggeser pantatku mendekat, "kalo nda ada Nenek Situe gimana nasib kita bang?"

Bang Idan menjawab dengan agak malas, "Mungkin sudah mampus kita semua, Dek. Dua jalur yang tadi mungkin sama-sama ke arah jurang."

Aku menelan ludah mendengar jawaban Bang Idan. Benar, kesombongan manusia bukan apa-apa di tengah hutan belantara ini. Tanpa uluran tangan makhluk lain, kami tidak akan mungkin bisa selamat hingga ke titik ini.

Kami mulai bergerak kembali beberapa saat setelah beristirahat. Sekarang kami memasuki hutan yang semakin rapat. Namun menapaki jalur yang kami kenal sungguh membuat banyak perbedaan.

Sekarang kami melangkah dengan tenang. Gangguan juga tidak ada lagi seperti yang sebelumnya kami rasakan di jalur berkabut tadi, hanya kelebatan-kelebatan masih sering kali muncul di ekor mataku.

Lalu tanpa diduga, kami tiba di batas hutan. Di sebelah kananku sekarang bukan lagi pohon-pohon besar, melainkan ladang kubis sejauh mata memandang. Dipinggiran hutan aku melihat ada sebuah pondokan kayu. Cahaya yang berasal dari lampu kaleng berpendar-pendar dari pondokan itu.

Rasa gembira dan syukur memenuhi dadaku. Aku langsung berlari ke arah pondokan itu sambil berteriak, "Bang, kita udah sampe bang! Kita udah selamat! Alhamdulillah!!''

Aku berlari di antara penampang-penampang yang berisi buah-buah kubis yang besar dan nampak masak. Di antara kubis-kubis itu kadang terselip terong-terong besar berwarna ungu. Aku langsung teringat pada rasa laparku. Tapi itu bisa menunggu, mudah-mudahan pemilik pondokan mengijinkan kami memakan beberapa buah terong yang tampak segar tersebut.

Pondokan itu dibuat dari batang bambu yang dibelah dua. Ada tangga kecil yang mengarah ke teras pondokan itu. Di teras itu nampak bale-bale kayu, sementara lampu kaleng tampak menempel di dinding. Dengan sigap aku naik ke tangga itu dan mengucap salam.

"Assalamu'alaikum... " Aku mendengar suara salam ku sendiri yang terdengar sedikit antusias. Tapi tidak ada jawaban.

Setelah beberapa kali mengucap salam, akhirnya kudengar suara dari dalam pondokan, disusul pintu yang terbuka. Pemilik pondokan itu adalah seorang kakek yang berusia sekitar 60 tahun. Wajahnya nampak tidak ramah. Lalu tanpa membalas salamku dia bertanya dengan nada yang terdengar jengkel.

"Ada apa? Siapa?" Tanyanya.

Aku menjawab sesopan mungkin, "Saya Alpin, Pak. Saya mau numpang istirahat."

Dia menatapku, masih dengan tatapan jengkelnya kemudian bertanya, "Dari mana?"

"Dari pucuk pak. Kami dari Puncak Dempo." Jawabku.

Jawabannya diluar dugaanku. Dia malah semakin tampak gusar.

"Huh! Lagi-lagi terjadi. Anak-anak kurangajar! Sebenernya buat apa kalian itu ganggu-ganggu kenyamanan penghuni Dempo? Ini selalu saja terjadi!'' dia mengomel panjang lebar.

Aku menoleh ke belakang dan merasa heran karena tak melihat teman-temanku. Padahal tadi mereka tepat dibelakangku tidak jauh. Ah, mungkin sebentar lagi.

"Saya dan teman-teman numpang istirahat dulu, Pak." Kataku.

"Teman apa? Tidak ada itu teman-temanmu!" Dia menjawab dengan galak.

Belum sempat menjawab, kulihat istrinya muncul dari balik pintu. Aku agak takut melihatnya. Nenek itu berambut panjang, beruban dan awut-awutan. Wajahnya hitam dan nampak menyeramkan, juga nampak sama tak ramahnya dengan kakek ini. Nenek itu memakai kain yang dililit di dada dan memakai kebaya model lama.

"Siapa, Pak?" Kudengar dia bertanya pada suaminya.

"Ini coba kau lihat. Ada lagi anak-anak dari atas Dempo. Kurang ajar sekali! Udah sana kau bikinkan kopi dulu." Jawab Kakek itu sambil memerintahkan istrinya menyeduhkan minuman.

Tak lama dia muncul lagi dengan segelas kopi. Aku bergidik saat Nenek itu menatap mataku. Tak lama dia kembali lagi ke dalam disusul oleh si Kakek sambil memberikan perintah agar kopi itu diminum.

Dari balik pintu kudengar obrolan pelan kedua suami istri itu.

"Pak, itu yak yang mau kita panen besok?" Kudengar suara si Nenek.

"Ngga tau. Yang jelas bocah ini yang muncul." Jawab si Kakek tadi.

"Tak apa lah, Pak. Asal ada yang di panen." Suara si Nenek menyahut disusul cekikikan yang membuat bulu kuduk ku meremang. Aku langsung ketakutan, dan menyesali kecerobohanku yang tanpa pikir panjang tadi langsung datang kesini.

Lalu si Kakek muncul lagi ke teras pondokan. Aku langsung pura-pura tak mendengar obrolan mereka, mengambil kopi dan meminumnya. Hampir saja ku tersedak. Kopi itu luar biasa pahit. Nampaknya Nenek itu lupa mencampur gula.

"Ayo masuk aja." Pinta si Kakek padaku sambil berdiri di ambang pintu.

"Saya disini aja, Pak. Istirahat." Aku menolaknya dengan halus. Sesungguhnya aku punya firasat buruk, sejak tadi instingku mengatakan untuk pergi.

"Istirahat aja didalam, tidur dulu. Kami juga mau tidur." Nada suara si Kakek terdengar memaksa. Sorot matanya membuatku semakin takut.

"Makasih, Pak. Saya disini aja, sambil nunggu teman-teman." Aku kembali berusaha menolak sesopan mungkin.

Kakek itu menjawab dengan tata bahasa yang aneh seakan terbalik dan terdengar menyeramkan, atau mungkin memang itu maksud sebenarnya??

.........sudah ga ada lagi temenmu itu.......