Kisah Nyata (Part 2): Angkernya Jalur Dukuh Liwung Gunung Slamet
Kami beristirahat dijalur, karena memang tidak ada tanah lapang disana, hanya jalur setapak yang ditumbuhi pepohonan lebat. Sambil berdiri kami mencoba mengatur nafas masing-masing, berharap sakit kaki Panji cepat mereda.
Panji berusaha menenangkan kaki nya, yang seolah tiba-tiba mogok tidak mau berjalan. Dibantu oleh Bang Epps dan rekan lainnya. Setelah memastikan bahwa kaki Panji baik-baik saja, dan istirahat cukup, kami memutuskan melanjutkan perjalanan, namun dengan tempo yang lebih lambat.
Seiring berjalan makin lama kaki Panji makin terasa sakit dan berat, hingga akhirnya memaksa kami harus berhenti kembali, padahal baru beberapa saat berjalan. Kali ini Pak Sakri coba membalurkan cream peregang otot pada kaki Panji, yang sebelumnya pun sudah dilakukan teman kami yang lain, namun seperti tidak ada hasilnya. Kaki Panji tetap terasa sakit.
Dengan pertimbangan hari yang kian gelap, dan persediaan Headlamp beberapa dari kami tiba-tiba tidak berfungsi, padahal sebelumnya baik-baik saja, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Waktu menunjukkan pukul 8 malam, itu artinya kurang lebih 4 jam sudah kami berjalan, waktu yang cukup lama dengan jarak yang belum seberapa ini.
Kami bergegas melanjutkan perjalanan menuju Pos 2, dimana disana terdapat tanah lapang, jadi kami bisa beristirahat dengan lebih leluasa. Namun, tidak lama, lagi-lagi Panji berhenti, sepertinya, kaki kanannya sudah benar-benar tidak bisa diajak berdamai. “Break! Tolong berhenti!”.
Seru Panji lagi. Saya dan Widi karena wanita berjalan ditengah, Usep dan Asep berjalan paling depan, dan langsung menghentikan langkah kami. Kami kembali beristirahat dijalur, namun kali ini saya memilih duduk sambil meluruskan kaki, begitu juga dengan teman-teman yang lain, hanya Panji yang masih berdiri dengan memegangi batang pohon yang digunakan untuk membantu nya berjalan.
*