Kisah Nyata (Part 4): Angkernya Jalur Dukuh Liwung Gunung Slamet
Widi tiba-tiba saja berbisik. “Mpok, kayaknya gua dapet dah.” Ucapnya. “Hah! Serius? Coba cek!” jawab ku. Kami bergegas ke dalam tenda.“Bener Mpok.” Deg hati ini mencelos seketika.
Melihat wajah Widi, hati nya pasti kacau, karena artinya Ia tidak dapat ikut mendaki puncak besok pagi, padahal Ia sudah sejauh ini. “Yaudah ga apa-apa, bawa pembalut kan?” tanya ku. Widi meng angguk lesu, terlihat kecewa dan panik terpancar dari wajah nya.
Perbincangan kami sepertinya terdengar sampai tenda sebelah, terdengar riuh mereka berkata. “Hah, Widi dapet? Terus bagaimana?.” Entah lah, selain Widi tidak bisa ikut mendaki puncak, bagaimana yang mereka maksud pasti tentang bungkusan putih berisi kemenyan yang diberikan si Mbah sesaat sebelum kami mendaki gunung ini.
Dengan Widi mendapatkan haid hari pertamanya di atas sini, itu artinya kami harus melakukan ritual bakar kemenyan yang diperintahkan si Mbah sebelum kami kembali turun ke Bawah. Namun tentu saja hati kami tidak semudah itu menerimanya, karena kami semua tahu perbuatan itu bertentangan dengan tauhid.
Kini kami dihadapkan pada pilihan, apakah kami harus membakarnya dan melakukan ritual tersebut atau ada cara lain agar kami tetap selamat saat kembali turun dari gunung ini. Untuk selanjutnya baca di Kisah Nyata (Part 5): Angkernya Jalur Dukuh Liwung Gunung Slamet