Kisah Nyata (Part 5): Angkernya Jalur Dukuh Liwung Gunung Slamet

Gunung Slamet
Sumber :
  • instagram

Olret – Kini kami dihadapkan pada pilihan, apakah kami harus membakarnya dan melakukan ritual tersebut atau ada cara lain agar kami tetap selamat saat kembali turun dari gunung ini. Sebelumnya kami bisa baca di Kisah Nyata (Part 5): Angkernya Jalur Dukuh Liwung Gunung Slamet

Allah Menguji Bukan Untuk Menyakiti, Agar Kamu Menjadi Pribadi yang Lebih Baik Lagi

****

Hari berganti, kini saat yang kami tunggu-tunggu tiba. Pukul 5.30 pagi, selesai menunaikan sholat subuh, kami bersiap untuk mendaki puncak gunung ini. Menurut informasi kurang lebih 1.5 jam, kami akan tiba diatas, itu artinya sekitar jam 7 pagi.

Jika Merasa Lelah dan Putus Asa, Teruslah Berjuang dan Berdoa Kepada Allah

Sengaja kami tidak mendaki lebih awal, karena tidak mengejar sun rise pada pendakian kali ini, mungkin karena tubuh yang terlalu lelah, dan kejadian-kejadian yang cukup memecah konsentrasi kami, sehingga kami memutuskan mendaki dengan lebih santai.

Setelah bersiap dan membawa perbekalan air yang cukup, Saya, Fahmi, Panji, Bang Epps, Asep dan Usep memulai pendakian ini. Hanya Widi yang terpaksa harus tinggal di tenda, walau dengan berat hati, tapi tidak ada jalan lain, Widi harus ikhlas menerimanya. Untung lah dia tidak sendiri, ada Pak Sakri yang menemani.

Ubah Kata Lelah Menjadi Lillah Agar Setiap Pekerjaanmu Menjadi Berkah

Pendakian dimulai, dengan jalur yang kini nyaris tanpa pepohonan. Batu-batu besar menemani kami di awal pendakian puncak pagi ini. Kami masih bisa dengan lincah mendaki karena batu itu memudahkan pijakan kami.

Namun tidak berlangsung lama, jalur berubah menjadi hamparan pasir batu yang nyaris sulit dijadikan pijakan. Apalagi dengan kemiringan hampir 45 derajat.

Dua langkah naik, satu langkah kami merosot turun, mirip jalur di Mahameru. Sesekali kami harus menghindar dari bebatuan yang berjatuhan dari atas. Dari perkiraan jam 7 pagi kami sampai, ternyata jam 8.30 pagi kami baru tiba. 3 jam total perjalanan kami sampai atas, maklum lah lagi-lagi karena kami ini pendaki amatir.

Akhirnya, kaki kami menapak diujung jalur pendakian puncak ini. Sorak soray dan teriakan syukur kami, menggema seketika diatas puncak gunung tertinggi Jawa Tengah ini. “Alhamdulillaaahhhhhhhhhhhhhhhhh…Ya Allah, Puncaaaakkkkk!!!!..”

Teriak kami, seraya melakukan sujud syukur atas nikmat yang luar biasa ini. Tidak ada yang lebih nikmat bagi seorang pendaki selain dapat meraih puncak dalam keadaan sehat dan selamat. Puncak memang bukan segalanya, tapi meraih puncak sudah pasti menjadi tujuan utama para pendaki seperti kami.

Rasa lelah hilang seketika, semua halang rintang yang kami hadapi selama pendakian ini, terbayar sudah oleh pemandangan yang terhampar indah di depan mata kami. Setelah mengatur nafas sejenak, kami langsung berfoto, untuk mengabadikan keindahan alam dari ketinggian ini.

Sekarang awan bukan hanya ada diatas kami, tapi juga dibawah pandangan kami. Salah satu hikmah mendaki puncak adalah kita dapat melihat betapa luas bumi ini, betapa agungnya kekuasaan Tuhan. Kita manusia hanya buih kecil yang bukan apa-apa, tidak ada yang patut kita sombongkan.

Puncak yang kami daki ini sebernarnya bukan lah puncak utama gunung ini, melainkan masih ada satu puncak lagi yang dapat kami jangkau dengan menyusuri pinggir kawah ini.

Walau demikian, kami tetap bersyukur sudah sampai sejauh ini. Kami sebenarnya bisa saja melanjutkan ke puncak utama, namun mengingat hari sudah siang, dan teman kami Widi menunggu di bawah, kami memutuskan cukup sampai disini.

Setelah kurang lebih satu jam kami berada disini, kini kami harus segera turun, karena asap belerang dari kawah gunung ini sewaktu-waktu dapat meracuni kami. Dengan tenaga yang tersisa, kaki-kaki ini mulai melangkah turun, tak lebih mudah dari perjalan naik tadi. Kami harus kembali menghadapi hamparan pasir berbatu yang kini dapat membuat kami tergelincir jika tidak hati-hati.

Kami memilih berseluncur diawal langkah menuruni puncak gunung ini, lalu dilanjutkan dengan melangkah perlahan. Sakit pada kaki tak bisa dihindarkan lagi, karena kami harus menahan bobot tubuh kami disetiap langkah yang kami ambil agar tidak merosot terlalu jauh. Perlahan namun pasti, kami akhirnya tiba di pos 5 tempat kami mendirikan tenda.

“Alhamdulilllaahh..” Ucap kami seraya berjalan dengan tubuh yang tengah gontai kehabisan tenaga. Teriknya matahari membuat lelah kami berlipat ganda, namun tak membuat kami hilang semangat. Waktu menunjukkan pukul 11 siang, tentu saja perut kami sudah keroncongan. Untunglah ada Widi yang sudah siap menyambut kami dengan hidangan makan siang.

“Haii gaess!!!..gimana-gimana?’’ Seru Widi antusias menyambut kedatangan kami. Dari suaranya saya tau, bahwa dirinya pun berharap jadi bagian dari pendakian puncak tadi. “Ayo-ayo, istirahat dulu.” Sambungnya seraya mempersilahkan kami duduk dibawah flysheet di depan tenda. Setelah mengambil nafas, sedikit merebahkan diri dan meluruskan kaki, melepas alas kaki yang seakan kini penuh duri, dan setelah membersihkan sisa-sisa kotoran yang menempel, kami langsung menyantap hidangan makan siang yang sudah memanggil-manggil sejak tadi.

Telor dadar, Bakwan dan Mie Goreng menu makan siang kami hari ini. Sambil makan Widi bercerita bahwa sepeninggal kami tadi, ada pendaki lain yang datang, dan mengira Widi adalah tukang bakwan. Dengan sedikit kesal Widi berkata “Iya, masa gua dikira tukang bakwan, gara-gara pas mereka sampe, gua lagi goreng bakwan, udah langsung pada bilang enak nih, beli-beli, gitu.” Ucapnya. Hahaha..lucu, mungkin karena Widi bersama Pak Sakri makanya disangka mereka, Widi adalah penduduk asli desa ini. Sudah tidak bisa ikut naik ke puncak, eh disangka jualan bakwan hihi.

Singkat cerita, sambil menikmati makan siang kami saling bercerita tentang pengalaman diatas puncak tadi. Kami tidak terlalu gamblang menceritakannya, karena Widi pasti iri mendengarnya, biarlah nanti kami ceritakan semua setelah turun dari sini. Selesai makan, kami segera berkemas, waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang. Tapi kini cuaca tidak terlalu panas, akan turun hujan sepertinya.

Tenda dilipat, nesting dikemas, sepatu kembali dipakai, semua telah siap, kini saatnya kami turun dari gunung ini, menapaki jalur yang sama yang kami lalui ketika awal pendakian ini.

Namun sebelum turun, kami kembali teringat tentang kemenyan itu. Bisik-bisik diantara kami, dan lewat pandangan mata yang seolah saling bertanya, bagaimana nasib kemenyan itu. “Itu bagaimana?”. Tanya ku pelan, Fahmi menoleh ke yang lain. Panji kembali menoleh ke Pak Sakri. Syukurlah Pak Sakri seolah mengerti gelagat kami, bahwa kami berat melakukannya. “Yaudah kalian Sholat kan? Dirumah sholat juga kan?” Tanya nya. “Iya Pak sholat dong Pak, Insya Allah.” Jawab kami bangga.

“Yaudah sini, saya pegang saja kemenyan nya, ga usah dibakar, berdoa saja, mohon perlindungan Allah, supaya sehat selamat sampai dirumah.” “Aaamiinn..” Aaahhh..Lega rasanya mendengar perkataan Pak Sakri tersebut, akhirnya kami tidak perlu melakukan ritual yang bertentangan dengan ajaran Agama kami itu. Kini kemenyan itu sudah berpindah tangan, dari tangan kami ke tangan Pak Sakri.

Akhirnya dibawah redupnya sinar matahari, kami memulai perjalanan turun. Kami berjalan satu persatu, Usep, Asep kembali di depan, disambung Widi, Saya, Fahmi, Bang Epss, Panji dan Pak Sakri sebagai Sweeper. Awal perjalanan dari Pos 5 ternyata tidak berjalan lancar, kaki saya sedikit cedera akibat turun dari puncak tadi, sepatu jebol mengakibatkan hampir keseluruhan jari kaki saya berdenyut hebat.

Sakittt.. sekali rasanya ketika dipakai berjalan dan bersentuhan dengan ujung sepatu. Untung lah saya bersama suami dipendakian ini, Fahmi harus rela bersabar menunggu saya yang berjalan amat perlahan, sedangkan yang lain, sudah lebih dulu menunggu di depan.

“Ga apapa, jalan duluan aja, seru kami!”. Saya masih berusaha berjalan sambil menahan sakit, namun karena ujung-ujung jari ini sepertinya bengkak maka akhirnya saya memutuskan untuk melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal.

Usai memakai sandal, dengan tetap mengenakan kaos kaki, kini saya bisa kembali berjalan dengan lancar. Kini posisi saya di depan, paling depan, diikuti oleh Widi, Usep, Asep, Panji, Bang Epss, Fahmi dan Pak Sakri. Setengah berlari saya menuruni jalur ini dengan cepat, bahkan cukup cepat untuk membuat mereka yang dibelakang berlari sampai ngos-ngosan.

“Stop, jangan cepet-cepat napa Na, ngacir baee!!” Seru Panji. “tau nih, mentang-mentang kaki udah kagak sakit.” Sambung Bang Epps. Baiklah saya menghentikan langkah, tapi dengan saya ngebut tadi itu membuat kami tidak terasa sudah sampai di Pos 3. Waktu masih sore, langit belum gelap, kami sepertinya bisa sampai basecamp sebelum jam 8 malam.

Setelah istirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan kembali. Kini perjalanan dari Pos 3 menuju Pos 2, itu artinya kami telah kembali memasuki hutan belantara. Pohon-pohon besar itu kini seolah menyambut kedatangan kami kembali.

Jalur yang semula normal kini mulai dipenuhi semak belukar. Langit, mulai tertutup rimbun nya pepohonan. Waktu menunjukkan pukul 4 Sore, namun lebih gelap dari biasanya, kami harus bergegas agar bisa sampai bawah sebelum larut malam.

******

Hari mulai gelap, cahaya matahari kini berganti dengan keremangan cahaya dari headlamp yang kami pakai. Entah sekarang jam berapa, sepertinya hampir jam 7 malam, kami belum juga sampai di Pos 2. Jalur terasa sangat panjang.

Sejak langit mulai gelap, kami berjalan hampir tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, kecuali kata break dan lanjut. Malam cukup hening, kegelapan kian pekat karena cahaya bulan tertutup rimbunnya pepohonan. Namun keheningan malam itu tiba-tiba saja terpecahkan oleh suara Pak Sakri. “Pergi sana, jangan ikut-ikut!” Seru nya. Mendengar itu, Saya hanya saling pandang dan berbisik kecil dengan Widi dan Fahmi yang kebetulan berada di depan dan belakang saya. “Ada apa?” Bisik ku. Widi dan Fahmi hanya menggelang.

“Pergi, saya ga takut! Jangan ganggu-ganggu!” Ucap Pak Sakri lagi, kini sedikit berteriak. Sikap Pak Sakri ini membuat saya sedikit panik, ada apa lagi ini?. Pak Sakri berbicara, dengan entah siapa.

Apakah kami akan kembali diganggu oleh mereka yang tak terlihat? Entahlah saya tak ingin memikirkan nya. Ini bukan kali pertama kami diganggu makhluk ghaib di pendakian kali ini, namun tetap saja tidak lantas menjadikan kami berani menghadapi mereka.

Akhirnya kami memilih diam, tanpa banyak bertanya, berjalan sambil menundukkan kepala sepertinya hal yang tepat untuk kami lakukan. Jam 7 malam, kami tiba di Pos 2. Masih dengan sedikit bicara kami beristirahat sejenak, meneguk air minum dan memakan beberapa makanan ringan untuk mengganjal perut yang mulai keroncongan.

“Jangan liat kebelakang.” Ucap Panji tiba-tiba kepada saya dan Fahmi yang duduk tepat dihadapannya. “Kenapa Nji?” Bisik ku penasaran. “Kunti Na.” Jelasnya. Innalillahi lagi-lagi si Kunti, entah laki-laki atau perempuan, saya tidak mau mengetahuinya lebih dalam, cukup tau saja.

Sekilas, bayangan-bayangan gelap memang seperti memberi tanda bahwa mereka mengamati kami dari jarak yang cukup dekat. Saya mencoba menenggelamkan diri di bahu suami, agar tidak melihat mereka yang sedang kami bicarakan. Hutan ini benar-benar tidak menyajikan pemandangan lain, selain suasana mistis dan kegelapan.

Kini malam kian terasa mencekam. Dengan kembali terjadinya kejadian-kejadian aneh barusan, Pak Sakri yang berbicara sendiri, dan munculnya Kuntilanak di Pos 2 ini, kini kami sadar, perjalanan kami kedepan, sudah pasti tidak sendiri lagi.
 
Ada mereka yang tidak terlihat akan mengawasi dan menemani kami di sepanjang perjalanan turun malam ini. Entah makhluk apa lagi yang akan kami hadapi di depan, kami hanya mampu berdoa dalam hati, agar Allah menjaga kami dari kemisteriusan malam ini.