Kisah Nyata (Part 1): Angkernya Jalur Dukuh Liwung Gunung Slamet
Kami ber 7, 5 laki-laki dan 2 perempuan, saya dan teman saya Widi. Setelah dipersilahkan masuk, dan kami bersalaman dengan si Mbah, kami pun turut duduk bersila bersama si Mbah yang mulai melemparkan pertanyaan pada kami satu persatu dari mana kami berasal. Setelah berkenalan, si Mbah langsung bercerita pengalaman pengalaman beliau selama menjadi penjaga gunung ini. Terutama pengalaman dalam menolong pendaki-pendaki nakal nan sompral yang banyak tersesat bahkan hilang digunung ini.
Deg-degan tapi kami tetap menyimak cerita demi cerita yang dituturkan si Mbah. Mulai dari yang hilang berhari-hari sampai yang tidak bisa diselamatkan. Kami tau tujuan beliau menceritakan itu semua bukan untuk menakuti-nakuti kami, tapi untuk dijadikan pelajaran, agar tidak berlaku seenaknya di gunung ini, atau ditempat lain dimanapun kami berada.
Sekilas pasti terlihat ketakutan diwajah kami yang tidak menyangka bahwa kami akan melewati jalur ini, tau namanya saja tidak, ah ga pernah kepikiran kami benar-benar seperti disesatkan. Tapi si mbah coba menenangkan namun suaranya terdengar berat, sehingga kami tahu, bahwa sejujurnya jalur ini memang angker untuk dilewati.
Setelah cerita panjang lebar, dan meneguk teh hangat yang disediakan oleh istri si mbah,dan suasana sudah mencair dari cerita-cerita horror yang dituturkan sebelumnya, pertanyaan terakhir si mbah adalah siapa diantara saya dan Widi yang sedang Haid? Atau waktu haid nya sudah dekat?, sempat saling lirik, namun Alhamdulillah saya baru selesai masa itu, tapi tidak dengan Widi, sepertinya dia akan haid dalam waktu dekat.
Si Mbah lalu memberikan kami sebuah bungkusan berbalut kain putih, berisikan kemenyan. Kami sempat bingung, lalu si Mbah menjelaskan bahwa, kalau diatas nanti salah satu diantara kami datang bulan, mohon jangan ikut muncak, agar berdiam diri saja ditenda, dan sebelum turun, kami diperintahkan untuk membakar kemenyan tersebut dan meraupkan asap nya ke wajah kami masing-masing, bukan hanya saya dan Widi, tapi kami ber tujuh.
Tujuannya adalah agar kami tidak disesatkan oleh penghuni gunung ini, ketika perjalanan pulang nanti. Saling curi pandang tak terelakkan dari wajah kami, tapi kami pun tidak mungkin menolaknya. Akhirnya kami memutuskan tetap membawa bungkusan kain putih itu bersama kami menaiki gunung ini.
*