Kisah Nyata (Part 3): Angkernya Jalur Dukuh Liwung Gunung Slamet
Olret – Kejadian demi kejadian aneh yang kami alami selepas perjalanan dari istirahat barusan, datang silih berganti. Kini ditengah perjalanan menuju Pos berikutnya, kami kembali disambut oleh penunggu lain gunung ini. Cerita sebelumnya bisa di baca di Kisah Nyata (Part 2): Angkernya Jalur Dukuh Liwung Gunung Slamet
****
Hari semakin gelap, hawa dingin mulai menyeruak masuk kedalam sela-sela jaket kami. Cahaya bulan redup, terhalang rimbunnya Pohon yang seolah-olah mengamati kami sejak awal. Syukurlah, ternyata kami telah sampai di Pos dua, ada sedikit tanah lapang, kami bisa beristirahat lebih leluasa sekarang, meluruskan kaki, dan mengeluarkan camilan dari dalam tas kami.
Namun karena hari sudah semakin gelap, Pak Sakri meminta kami agar tidak berlama-lama di Pos ini. Entahlah, nada suaranya lebih seperti ingin mengatakan bahwa memang tidak baik berlama-lama di Pos ini.
Tapi saya tidak menghiraukan itu, dan tidak pula ingin bertanya lebih jauh, karena hari memang sudah sangat gelap, dan tubuh ini pun sudah minta istirahat, jadi yang terbaik memang kami harus bergegas melanjutkan perjalanan agar dapat segera sampai di Pos 3 dan bermalam disana.
Perjalanan pun dimulai kembali, Asep dan Usep masih bertahan di posisi depan, diikuti oleh Widi dan saya, lalu Fahmi, Bang Epps, dan Panji. Jalur yang kami lalui masih sama, jalan setapak yang hampir tak terlihat karena dipenuhi tumbuhan liar.
****
‘WukWukWuk’ terdengar seperti suara burung, namun tidak ada yang melintas diatas kami, suaranya sangat dekat dan jelas. Dengan santai saya bertanya ke pada Pak Sakri. “Burung apa Pak”?.
Tanya ku. “Ssst..udah jangan di dengerin, jangan lihat-lihat keatas” Jawab Pak Sakri pelan. Mendengar jawaban itu justru malah membuat kami semakin penasaran. “Emang apa Pak?.” Tanya teman kami yang lain.
“Gak apa-apa”. Jawab Pak Sakri singkat. Sejenak kami terdiam, hawa mistis kini lebih terasa menyelimuti setiap sudut hutan ini. Kami merasa ada kehadiran makhluk lain disini, dan kami sadar sejak tadi kami tidak sendiri.
“Wukwukwuk”.. bunyi itu terdengar lagi. Kali ini Pak Sakri berpindah posisi dari belakang ke depan. Kini tinggal Bang Eps dan Panji berada paling belakang saling bergantian. “Saya pindah ke depan.”
Ujarnya, sambil bergegas jalan ke depan, Bang Epss dan Panji sudah pasti ber uji nyali dibelakang sana. “Kenapa Pak?.” Tanya ku. “Ga apa-apa” jawabnya. “Sudah lanjut jalan, jangan berhenti, biar cepat sampai Pos 3 kita bisa cepet bangun tenda disana, terus tidur.” Sambung Pak Sakri.
Tapi karena kami penasaran, dan pastinya sangat ingin tau ada apa sebenarnya, kami sedikit memaksa Pak Sakri untuk memberitahu suara apa itu. Dengan nada suara yang seolah-olah dibuat agar terdengar biasa, Pak Sakri akhirnya memberi tahu kami suara apa itu sebenarnya.
“Itu adalah suara Kuntilanak lelaki, biasanya merupakan demit jejadian dari manusia-manusia penganut ilmu hitam.” Ujarnya. “Hah? Yang bener Pak?”. Tanya ku. “Iya tapi jangan takut, baca-baca doa aja, pikiran jangan kosong insyaallah ga diganggu.” Jawab Pak Sakri menenangkan.
****
Disinilah saya baru tahu, Bahwa kuntilanak itu ada laki-laki dan ada juga yang perempuan, kuntilanak laki-laki katanya lebih jahat dari pada yang perempuan, tapi apapun itu tetap saja, bagi saya mereka menyeramkan.
Kuntilanak itu kini mengikuti sepanjang perjalanan kami, walau saya tidak melihatnya, tapi saya dapat merasakan bahwa kuntilanak tersebut mengamati kami sejak tadi. Entah kesalahan apalagi yang kami perbuat kali ini, sehingga harus diikuti makhluk jadi-jadian seperti ini.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, kami belum juga sampai di Pos 3, perjalanan terasa sangat lambat, padahal kami terhitung jarang sekali berhenti semenjak kaki Panji sudah kembali pulih tadi. Suara kuntilanak itu timbul dan tenggelam, tapi pasti ada disekililing kami, mengiringi perjalanan kami disepanjang malam ini.
Tiba disebuah tanah lapang yang tidak begitu besar, sudah tertancap dua tenda disana. Ini pasti Pos 3, akhirnya kami menemui pendaki lain di gunung ini, dimana semenjak awal perjalanan, tidak ada satu pun pendaki lain bepapasan dengan kami.
“Alhamdulillaahh..sampai juga.” Ucap teman-teman kami seraya meluruskan kaki yang sejak tadi minta berhenti. Tidak terasa hampir 8 jam perjalanan kami hanya dari basecamp sampai di Pos 3 ini. Jalur yang kami lewati sebenarnya tidak terlalu terjal, tapi tidak pula landai, hanya saja terlalu penuh semak belukar.
Dua tenda yang sudah terpasang milik pendaki lain ini, terlihat begitu sepi, tanda penghuni di dalamnya sudah beristirahat dalam lelap. Namun ada yang ganjil dengan dua tenda ini, terdengar suara lantunan ayat suci Al-Quran dari dalam tenda, mungkin berasal dari salah satu Hp milik pendaki di dalamnya.
Suara riuh kami, mungkin membangunkan salah satu penghuni tenda tersebut. Samar-samar saya mendengar Panji dan rekan lainnya yang sudah sampai lebih dulu, berbincang dengan pendaki itu. “Ada yang kesurupan tadi, temennya yang perempuan”. Jelas Panji seraya berjalan kearah kami, dimana Saya, Fahmi dan Widi baru saja tiba di Pos ini “Kapan?.” Tanya ku.
“Barusan katanya, sebelum kita datang.” Jelas nya.
Oh..itulah sebabnya mengapa mereka membunyikan lantunan ayat suci Al-Quran dari dalam tenda. Tapi sepengalaman kami, hal itu hanya akan membuat penghuni lain disini makin marah, karena mereka terasa ditantang, dan diusik keberadaannya.
Tak lama, kami bergegas mencari lahan bagian datar yang kira-kira dapat kami jadikan tempat bermalam, namun karena terlalu sempit dan hanya menyisakan tanah kosong sedikit yang posisi nya agak miring, terpaksa kami membangun tenda disana.
Setelah 2 tenda terpasang rapih, Pak Sakri yang sejak tadi berdiri disamping tempat kami mendirikan tenda, mengamati ke arah pohon tepat dari mana arah kami datang tadi. ”Masih ada ya Pak?”.
Tanya Panji. Panji dan Bang Eps terlihat bolak-balik berkerumun mendekati Pak Sakri. “Itu dipohon itu, lagi liatin kesini.” Jawab Pak Sakri santai sambil meniupkan asap rokoknya. “Apaan sih Nji?,” tanya ku.
“Kuntilanak!” Jawabnya singkat. Tidak mau memperpanjang pembicaraan saya langsung menenggelamkan diri bergabung dengan Widi yang sedang memanaskan air, bersama Fahmi, Asep dan Usep serta Bang Eps yang sejak tadi mondar mandir tidak jelas.
******
“Tuh masih ada Kuntilanak nya, tuh bunyinya masih kedengeran.” Ucap Panji seraya mendatangi kami semua, bunyi wukwukwuk kembali terdengar. Kami hanya saling curi pandang, tidak bisa banyak komentar, takut salah ucap, malah bisa jadi sasaran. Sudahlah jangan dihiraukan, pikirku. Lalu kami melanjutkan memanaskan air, dan menyiapkan beberapa gelas untuk menyeduh kopi dan teh.
Setelah selesai memanaskan air dan membuat teh dan kopi untuk sedikit menghangatkan badan, kami melakukan Sholat isya dan meng qada sholat maghrib. Setelahnya kami bergegas masuk ke tenda, beristirahat, karena kami harus melanjutkan perjalanan kembali esok pagi.
Ketika saya dan yang lain sudah berada didalam tenda, Pak Sakri dan Panji sepertinya masih berbincang diluar. Entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya pembahasan menganai Kaki Panji yang terasa sakit tadi. Ternyata menurut Pak Sakri, kaki Panji ditumpangi tiga makhluk halus penunggu tempat dimana Panji buang air kecil.
Akhirnya kami pun terlelap dalam dingin dan gelap nya malam gunung ini. Bintang tidak lagi tampak, tertutup gelapnya malam dan rimbunnya pohon hutan ini. Malam ini, kami semua beristirahat, dibawah redupnya cahaya bulan.
Di dalam keremangan tenda, dengan tetap ditemani sosok jadi jadian, yang sejak tadi seolah enggan pergi meninggalkan kami sendirian di hutan ini. Mereka tetap setia mengamati dari balik pohon, tempat mereka bersembunyi.