Part 3 : Teror Gunung Dempo Pagar Alam Sumatera Selatan

Alasan mendaki gunung sindoro
Sumber :
  • www.ngayap.com

Olret – Setelah perjuangan yang menegangkan di Part 2 : Teror Gunung Dempo Pagar Alam Sumatra Selatan

Video : Melihat Dengan Jelas Keindahan Talaga Bodas Garut

Aku berusaha tak ingin mendengarkan, tapi suara yang memanggil-manggil namaku itu terus menerus menggema, seakan menempel di telingaku. Melihat yang lain menutup telinga dengan kedua tangan, kuyakin mereka juga mendengar hal yang sama. Aku menoleh ke belakang mencoba melihat Bang Idan. Nampaknya hanya dia yang tidak terpengaruh, karena masih terus berjalan tanpa ekspresi di wajahnya.

"Fokus ke depan Dek," Katanya padaku, "jangan cerita apa-apa, jangan dengerin apa-apa.''

Video Perjalanan TekTok ke Gunung Sagara Garut

Aku mengangguk mengiyakan. Tapi sulit sekali fokus saat kelelahan dan dicengkram ketakutan seperti ini. Sebelah kananku adalah hutan. Segala penampakan ada disetiap pohon disana. Sementara sebelah kiriku adalah jurang. Suara-suara meneror kami dari dasar jurang itu.

Didepan kudengar suara berdebam. Rupanya Yuni terjatuh, mungkin kakinya tak sengaja tersangkut akar. Lalu kudengar dia berteriak histeris. Aku ikut berteriak saat melihat yang membuatnya terjatuh bukanlah akar, melainkan sepotong tangan. Bang Amran dengan cepat menarik tangan Yuni, memaksanya bergerak. Berikutnya kudengar Ale dan Anes yang berteriak ketakutan di belakangku. Aku tak berani menoleh kebelakang.

4 Zodiak yang Suka Mendaki Gunung dalam Cuaca Apapun

Saat aku sedang fokus melihat ke bawah menatap kakiku sendiri yang sedang berjalan, tiba-tiba ada sebuah kepala yang menggelinding dan tak sengaja tertendang. Kali ini aku yang berteriak dengan kencang.

Setiap kali kudengar teman-temanku berteriak. Entah apa yang mereka alami, aku tak ingin tahu. Penghuni Gunung Dempo ini seakan berkumpul dan bergantian mengganggu kami. Tampaknya kami tidak akan dibiarkan tenang walau sekejap.

Belum jauh berjalan, giliran aku yang kembali berteriak karena sebuah tangan menangkapku dari balik dahan pohon yang menjuntai ke jalur. Dengan cepat aku melepaskan diri sambil berteriak dan beristighfar. Kulihat teman yang lain tak bereaksi mendengarku berteriak, mereka pastinya juga diteror masing-masing.

Lalu sepasang tangan besar dan hitam mencengkram kakiku. Kembali aku berteriak histeris sambil berusaha melepaskan diri seperti tadi. Tapi semakin ku berusaha, cengkraman tangan itu malah semakin kuat, membuatku semakin histeris.

Bang Idan--lagi-lagi Bang Idan menjadi dewa penolongku--berlari dan langsung memeluk dan menenangkanku.

"Tenang Dek, tenang. Istighfar." Katanya.

Tapi cengkraman di kakiku tetap tidak hilang, justru semakin kuat menekanku.

"Ada tangan Bang di kakiku. Kakiku dipegangnya Bang." Aku merintih sakit dan ketakutan.

Lalu Bang Idan dan dua teman lain berjongkok berusaha melepaskan kakiku. Aku hampir tak percaya apa yang kulihat, yang sedetik lalu adalah sepasang tangan hitam, sekarang ternyata akar pohon yang membelit kakiku.

"Kek mana ceritanya kakimu bisa masuk akar begini.. " Kudengar Anes bertanya. Dia merasa heran karena kakiku terjepit dua akar yang saling mengait. Akhirnya setelah lama berusaha, tiga orang itu berhasil membebaskan kakiku dari akar hitam itu. Setelah kakiku bebas, suara tawa cekikikan menggema di mana-mana. Kami berpandangan, sorot-sorot mata panik jelas tergambar di mata kami.

Aku sangat berterima kasih pada teman-teman perjalananku. Jujur, aku takut mereka putus asa jika gagal melepaskan kakiku dari akar dan meninggalkanku sendiri. Kami saling menepuk bahu dan mengangguk, mencoba saling menguatkan tanpa kata-kata. Tapi belum jauh kami berjalan, tiba-tiba Yuni berteriak kencang menyuruh kami tiarap.

"Tiaraaaaaaappppp....!!!" Teriak Yuni histeris.

Kami serempak menjatuhkan diri ke tanah. Hembusan angin yang besar lewat diatas badan kami, tapi aku sama sekali tak melihat apapun.

"Aa... ada mahkluk hitam ttt.. ttadi.. " Yuni tergagap, tak lama dia mulai menangis.

"Udah Yun, diem dulu jangan cerita." Kata Bang Idan.

"Makhluk it... Itu.. Mengincar Bang Amran." Yuni seperti tak mendengar himbauan Bang Idan.

Bang Amran yang namanya disebut menelan ludah, wajahnya pucat pasi. "Kamu pikir begitu Yun?" Tanya Bang Amran.

"Iya bang," Jawab Yuni, lalu menambahkan, "makhluk itu sejak tadi mengikuti kita, matanya selalu menatap Bang Amran. Dia mengincar Bang Amran."

Kami semua menatap Bang Amran, lalu kemudian saling bertatapan satu sama lain. Raut-raut ketakutan tergambar jelas di wajah kami. Omongan Yuni barusan membuat jantungku semakin merasa diremas-remas. Penghuni Dempo bukan cuma berniat menganggu, tapi berniat mencelakakan kami.

"Makhluk itu juga yang tadi menarik kaki Alpin." Tambah Yuni, "tadi aku lihat dia sembunyi dibalik pohon.''

Sekarang giliran aku yang pucat. "Memang bukan akar kan Yun? Aku juga lihat tangan hitam yang tadi narik kakiku."

Yuni mengangguk, "tadi aku mau kasih tau, tapi udah terlambat."

Mendengar obrolanku dan Yuni kami semua serentak beristighfar dengan pelan.

"Sudah.. Sudah jangan dipikirkan. Kita lanjut lagi dan fokus dan jangan sampai terpisah. Kita harus cepat. Kita pasti selamat. Percayalah, kita punya Tuhan!" Bang Idan memotong obrolan kami agar tidak semakin jauh. Kami semua menurut.

Kami tarik nafas panjang untuk menenangkan diri, lalu mulai berjalan lagi. Sambil berjalan itu, aku yang masih penasaran bertanya lagi pada Yuni. "Yun, jadi kamu tadi benar lihat kan yang narik aku? Aku beneran ngga bohong tadi itu yun. Tadi tangan Yun, bukan akar.''

"Iya. Makhluk itu tadi pin, aku lihat, mau bilang tapi sudah terlambat." Jawab Yuni.

Ale yang berjalan di belakangku ikut nimbrung, "kalo aku nda liat tangan, Pin. Tapi aku liat diatas pohon ada monyet besar banget, matanya merah. Dia ngikutin kita terus, tapi aku ngga berani ngomong. Takut dibilang halusinasi."

Dari belakang Bang Idan berteriak membentak kami, "cukup!! Ngga usah cerita ini itu!! Sekarang fokus aja jalan biar cepet selamat! Berdoa bukan cerita!!"

Kami bertiga langsung menciut dan kembali jalan. Dan suara-suara gaib kembali terdengar saat kami semua diam. Di balik semak jelas ku dengar suara langkah kaki, juga tawa dan tangisan. Kadang suara ranting patah lalu geraman-geraman yang berat. Namun yang paling mengganggu adalah suara-suara dari jurang yang memanggil setiap nama kami berulang-ulang.

"Fokus!'' kata Bang Idan, tegas, " Yang dipanggil jangan noleh!"

Bang Idan benar. Kami yang hanya fokus pada nafas yang mulai habis karena lelah akhirnya tak mendengar suara apapun lagi, baik dari hutan atau dari jurang di kiri kami. Begitu juga dengan segala penampakan, tiba-tiba hilang begitu saja.

Hampir selama setengah jam kami berjalan dengan tenang tanpa ada gangguan apapun ketika tiba-tiba Anes di belakangku berteriak kencang.

"PUJI TUHAN! PUJI TUHAN! TUHAN YESUS SELAMATKAN KAMI!!' Anes histeris, matanya melotot memandang sesuatu di arah depan.

Bang Idan dengan sigap memeluk dan langsung mendudukkan Anes yang terus menerus melotot dan tangannya menunjuk sesuatu yang tak bisa kami lihat.

"Tenang Nes. Tenang. Doa menurut keyakinanmu." Kata bang Idan.

Kami mengelilingi Anes yang histeris. Tubuhnya menggigil ketakutan.

"Kenapa Nes?" Tanya Bang Amran.

"Jangan jalan Bang! Jangan jalan. Didepan ada Harimau Bang. Sepasang harimau!" Anes kini mulai menangis.

Kami semua menatap arah yang ditunjuk Anes, tapi tidak ada apapun. Hanya Anes yang bisa melihat harimau yang dimaksud. Disebelah Anes, Yuni mulai ikut menangis sambil berdoa. Wajah Anes basah oleh peluh, lehernya tampak kaku dengan pandangan lurus ke depan.

"Ayo Nes, jalan lagi." Pinta Bang Idan lembut.

"Jangan Bang, jangan. Harimau Bang." Anes menolak untuk berdiri.

Lalu penampakan dan ketawa cekikikan membahana lagi seakan mengejek. Suara panggilan dari jurang juga merangkak naik memanggil-manggil Anes.

"Anes.....Anes... Anes... "

"Jangan Noleh Nes." Kata Bang Idan, sambil menghalangi pandangan Anes ke arah jurang.

Tapi fokus Anes tak teralihkan. Dia masih terus menatap ngeri ke arah depan. Diantara isak tangisnya, berkali-kali dia mengulang kata yang sama.

"Harimau......... Harimau.... "