Kisah Nyata (Part 5): Angkernya Jalur Dukuh Liwung Gunung Slamet
Olret – Kini kami dihadapkan pada pilihan, apakah kami harus membakarnya dan melakukan ritual tersebut atau ada cara lain agar kami tetap selamat saat kembali turun dari gunung ini. Sebelumnya kami bisa baca di Kisah Nyata (Part 5): Angkernya Jalur Dukuh Liwung Gunung Slamet
*
Hari berganti, kini saat yang kami tunggu-tunggu tiba. Pukul 5.30 pagi, selesai menunaikan sholat subuh, kami bersiap untuk mendaki puncak gunung ini. Menurut informasi kurang lebih 1.5 jam, kami akan tiba diatas, itu artinya sekitar jam 7 pagi.
Sengaja kami tidak mendaki lebih awal, karena tidak mengejar sun rise pada pendakian kali ini, mungkin karena tubuh yang terlalu lelah, dan kejadian-kejadian yang cukup memecah konsentrasi kami, sehingga kami memutuskan mendaki dengan lebih santai.
Setelah bersiap dan membawa perbekalan air yang cukup, Saya, Fahmi, Panji, Bang Epps, Asep dan Usep memulai pendakian ini. Hanya Widi yang terpaksa harus tinggal di tenda, walau dengan berat hati, tapi tidak ada jalan lain, Widi harus ikhlas menerimanya. Untung lah dia tidak sendiri, ada Pak Sakri yang menemani.
Pendakian dimulai, dengan jalur yang kini nyaris tanpa pepohonan. Batu-batu besar menemani kami di awal pendakian puncak pagi ini. Kami masih bisa dengan lincah mendaki karena batu itu memudahkan pijakan kami.
Namun tidak berlangsung lama, jalur berubah menjadi hamparan pasir batu yang nyaris sulit dijadikan pijakan. Apalagi dengan kemiringan hampir 45 derajat.