Part 9 : Teror Gunung Dempo Pagar Alam Sumatera Selatan
"Tidak ada itu, Dek. Itu cuma halusinasi." Sambil Bang Idas terus mengusap-usap punggungku, "sekarang kau aman. Istighfar, Dek."
Masih banyak yang ingin kutanyakan, tapi Bang Idan menghentikanku. Dia memintaku tenang dan mengatur nafas. Aku mengerti. Kulihat teman-teman yang lain dengan wajah paniknya. Yuni dan Bang Amran juga terlihat menangis, rupanya mereka juga sudah sadar. Lalu kami semua menangis dan berpelukan sambil mengucap syukur.
Tak menunggu lebih lama lagi, Bang Idan meminta kami segera bergerak. Aura negatif ditempat ini terlalu menekan.
"Am, kamu benar sudah sadar?" Tanya Bang Idan pada Bang Amran.
"Insya Allah, Dan." Jawab Bang Amran mantap.
"Ya sudah, kamu pegang senter jalan duluan. Aku menjaga Alpin. Ale dan Anes, kalian bimbing Yuni." Bang Idan membagi-bagikan tugas, lalu dia bertanya padaku, "kuat kamu jalan, Dek?"
Aku mengangguk dan coba berdiri. Tapi kakiku ternyata masih terlalu lemah menahan berat tubuhku. Aku kembali roboh. Tanpa bicara lagi, Bang Idan membantuku berdiri. Lalu memapahku berjalan.
Perjalanan kami semakin lambat. Fisik kami semakin melemah, ditambah cobaan-cobaan yang terus menghancurkan mental kami. Hanya dalam hitungan jam, keadaan kami sudah hancur luar dalam. Bang Amran dan Yuni yang kerasukan, Anes dan Ale yang terus menerus diteror dan aku yang paling parah. Penguat kami hanya Bang Idan.
Saat aku mulai kembali tenang. Ribuan pertanyaan melesat di benakku. Kejadian barusan bagaikan mimpi buruk yang masuk ke dunia nyata. Kenapa tiba-tiba aku ada dipinggir jurang? Kemana perginya pondok di tengah ladang itu? Siapa mayat-mayat hidup tadi? Kenapa mereka menangis dan meminta tolong? Siapa Kakek Nenek menyeramkan itu?
Tak sanggup lagi kupendam sendiri, aku bertanya pada Bang Idan, "Bang, kenapa aku tiba-tiba ada di pinggir jurang tadi? Siapa yang di dalam jurang, menjerit-jerit dan meminta tolong?"
Bang Idan menarik nafas dalam sambil menatap mataku, "Tadi kamu tiba-tiba teriak 'Selamat! Selamat!' sambil berlari ke arah jalur turun. Abang dan Anes ngejar kamu, tapi kami kehilangan jejak. Kamu hilang."
Bang Idan sejenak diam, tapi aku masih tetap menunggu.
"Abang sudah putus asa, Dek. Kami pikir kamu ngga akan selamat. Abang sempat berpikir cepat turun untuk cari bantuan, " Bang Idan menyambung lagi, "kamu tadi itu kenapa?"