Beri Makan pada Dosen Penguji saat Ujian, Tindakan Merusak Mutu Akademis
- Pixabay
Olret – Salah satu dari sekian banyak problem yang sampai hari ini masih ada mentok di kampus yakni budaya beri makanan atau hadiah pada dosen penguji saat ujian/sidang skripsi. Mungkin ada yang menganggap kalau memberi makanan pada dosen penguji bukanlah suatu masalah yang perlu diperpanjang, atau bahkan diungkit-ungkit, apalagi kalau memang mahasiswa yang bersangkutan mau melakukan itu.
Tetapi, penting dipahami kalau kampus harusnya menjadi ladang untuk mencetak manusia yang berpikir dan terdidik. Kalau budaya mahasiswa memberi makanan atau hadiah pada dosen penguji saat sidang, itu bisa saja menodai mutu pendidikan lho.
Sebenarnya bukan soal ikhlasnya mahasiswa dalam memberikan makanan kepada dosan pengujinya, tetapi ini masalah harkat dan martabat akademik. Kebiasaan semacam ini bagian dari budaya toksik yang seharusnya sudah lama hilang dalam dunia kampus.
Sebelumnya, budaya memberi makanan ataupun hadiah kepada dosen (entah dosen pembimbing, dosen penguji, atau dosen apapun itu) telah dilarang oleh Kemenristekdikti (sebelum diubah menjadi Kemendikbudristek). Larangan itu telah tertuang dalam surat edaran No. 108/B/SE/2017 kepada Perguruan Tinggi Negeri, Perguruan Tinggi Swasta, serta stakeholder, tentang larangan menerima hadiah.
Di poin yang kedua, dijelaskan kalau dosen merupakan pendidik bagi mahasiswa, memiliki wewenang dan tanggung jawab atas hubungannya dalam menjaga integritas akademik. Oleh sebab itu, sudah sangat jelas kalau dosen dilarang menerima hadiah apa pun dari mahasiswa yang berhubungan dengan tugasnya sebagai pendidik. Dan juga larangan itu berlaku pada sebaliknya, yakni mahasiswa.
Walaupun tidak ada yang menjelaskan secara spesifik tentang larangan ‘penerimaan makanan saat sidang skripsi’, tetapi itu tetap saja masuk dalam poin kedua. Bahkan KPK sendiri juga sudah melarang budaya memberi hadiah ini karena dapat memicu tindakan koruptif.
KPK tidak mau ada proses ketidakadilan dalam proses mengajar di kampus hanya karena menerima hadiah atau pemberian dari mahasiswa. Jadi, kalau masih ada kampus yang menerapkan budaya mahasiswa memberi makanan atau hadiah kepada dosen, jelas kampus itu masih bermasalah.
Mahasiswa terjebak dalam budaya sopan santun yang keliru
Tak bisa dipungkiri budaya sopan santun di lingkup kampus masih kental terjadi dan bahkan terus diwacanakan. Mulai dari sopan santun berpakaian, ngechat dosen, sopan santun di dalam kelas, hingga sopan santun untuk memberi hadiah kepada dosen penguji saat sidang skripsi.
Budaya sopan santun memang harus dijunjung tinggi, tapi penting diingat bahwa budaya sopan santun yang toksik tentu tak elok untuk dipertahankan. Justru tugas kampuslah yang harus menuntun mahasiswa dalam kebaikan, tetapi kalau sampai menuntun pada budaya yang merusak mutu pendidikan, maka seharusnya kampus bertanggung jawab untuk mencegahnya.
Budaya sopan santun yang dipolarisasi soal keharusan memberi makanan atau hadiah kepada dosen penguji. Banyak mahasiswa yang terjebak dengan budaya sopan santun yang keliru. Dalam pemahaman mereka, dosen penguji yang telah mengorbankan pikiran dan waktunya, itu tidak etis kalau tidak dibayar dengan ucapan terima kasih dalam bentuk yang konkret.
Hal itulah yang membuat banyak mahasiswa menganggap kalau memberi makanan kepada dosen penguji sebagai bagian dari balas budi dengan menyuguhkannya makanan walau menyusahkan diri sekali pun.
Mahasiswa sudah keluarkan uang banyak, masak dibebankan lagi dengan pemberian makanan saat sidang skripsi
Telah diketahui bersama kalau biaya pendidikan itu mahal, tapi harusnya kampus hadir sebagai lembaga pendidikan yang bisa merangkul siapa saja. Sudah banyak uang yang harus dikeluarkan mahasiswa saat di kampus, mulai dari pemabayaran UKT, kewajiban membeli buku, dan biaya-biaya skripsi yang lain. Masak mau dibebankan lagi keharusan memberi makanan pada dosen penguji.
Ini bukan soal pelit atau tidak mampu, hanya saja konteksnya merusak mutu pendidikan, jangan sampai dengan pemberian hadiah itu malah dosen tidak bisa berbuat adil kepada semua mahasiswa.
Penting dipahami kalau prekonomian mahasiwa itu tidak sama semua, tentu ada mahasiswa yang sangat gampang kalau hanya sekedar membeli makanan atau hadiah yang diberikan kepada dosen, tetapi ada juga mahasiswa yang harus ngutang dulu baru bisa lakukan itu. Jadi, tolonglah wahai pihak kampus, jangan buat aturan yang tidak-tidak atau mempertahankan budaya toksik yang bisa merusak mutu pendidikan, atau bisa merugikan mahasiswa sendiri.
Pihak kampus harus bisa lebih profesional
Kalau pun tidak ada perintah langsung memberi makanan atau hadiah kepada dosen penguji, akan tetapi pihak kampus harus bertanggung jawab untuk mencegah budaya toksik ini. Karena praktek semacam ini masih banyak terjadi di lingkungan kampus, termasuk di kampus Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar), kampus saya dulu.
Karena sudah jelas larangannya, harusnya pihak kampus turut untuk bertanggung jawab dan meruntuhkan budaya ‘memberi makan kepada dosen penguji’ yang toksik ini. Kalau mahasiswa tidak sadar atau terjebak dengan budaya sopan santun yang keliru, maka pihak kampuslah yang harus mencegahnya.
Misalnya saja, pihak kampus membuat pengumuman atau surat edaran yang melarang tindakan memberi hadiah/makanan/apa pun itu kepada dosen, khususnya pada saat sidang skripsi.
Apabila pihak kampus melakukan itu, tentu mahasiswa juga tidak akan melakukan lagi budaya yang toksik itu. Lagian pula, itu demi kebaikan bersama kok. Mahasiswa tidak perlu lagi repot atau khawatir dengan biaya yang tidak perlu. Sementara kampus juga akan terhindar dari opini bahwa kampus sengaja membuka jalan kepada mahasiswanya untuk merusak mutu pendidikan.