Isu Ustadz Solmed Hingga Ustadzah Oki Pasang Tarif Dakwah Mahal. Inilah Hukumnya Dalam Islam!
- Viva
Olret –Beberapa waktu lalu, Ustadz Solmed sempat menghebohkan netizen dengan fakta, jika dirinya memiliki kekayaan yang tergolong luar biasa. Hal ini menimbulkan pro kontra netizen hingga menyebut Ustadz Solmed sebagai Agen Dunia Akhirat.
Namun, Ustadz Solmed akhirnya menjelaskan bahwa sumber kekayaannya bukan dari dakwah atau kegiatan Dai-nya. Namun lebih banyak dari Perusahaan Rokok Herbal miliknya yang bernama PT. TSI.
Terlepas dari pemberitaan tersebut, beberapa pendakwah indonesia memang diisukan memasang tarif yang terbilang cukup mahal dalam berdakwah.
Nah, pertanyaan bagaimana hukumnya dalam islam jika ada pendakwah/ustadz/ustadzah yang memasang tarif dan anjuran besarannya jika memang diperbolehkan.
Yuk simak penjelasan artikel berikut!
Isu Ustadz/Ustadzah Indonesia Pasang Tarif Mahal
Dilansir dari berbagai sumber, inilah beberapa isu besaran tarif ustadz/Ustadzah yang cukup tersohor di Indonesia.
1. Ustadz Solmed
Ustadz Solmed pernah diisukan memasang tarif 10 juta dengan tambahan fasilitas, ketika berdakwah di Lapangan Victoria oleh Event Organizer Hongkong. Namun tarif ini sempat menjadi masalah, karena menurut pemberitaan pada awalnya hanya 6 juta rupiah.
2. Ustadzah Oki Setiana Dewi
Kakak Kandung Ria Ricis itu pernah memasang tarif hingga 10 Juta rupiah untuk sekali ceramah ditambah penerbangan dan penginapan yang berkelas.
3. Mamah Dedeh
Mamah Dedeh pernah dikabarkan mendapatkan 40 juta dalam ceramahnya.
4. Aa Gym
Aa Gym pernah memasang tarif hingga USD 100.000 pada Bulan Ramadhan 2022.
Namun semua isu diatas belum tentu kebenarannya. Jadi diperlukan konfirmasi ulang pada yang bersangkutan. Hal itu supaya tidak menimbulkan fitnah dan memastikan kebenaran secara langsung.
Hukum Islam Soal Pendakwah/Ustadz/Ustadzah Yang Pasang Tarif Mahal
Melansir dari laman Nu Online, disebutkan topik diskusi oleh ulama muta’akhirin, salah satunya Ibnu Rusyd. Masalah ini kemudian diangkat kembali oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaily terkait penerimaan bisyarah oleh guru agama dari masyarakat sebagai berikut:
Fatwa di zaman kita ini terkait kewajiban untuk memberikan insentif (lewat amplop atau rekening) atau pengupahan, hadir karena munculnya gejala keredupan masalah keagamaan, putusnya anggaran negara (baitul mal) untuk kerja-kerja guru, sedikitnya muru’ah orang-orang kaya. Semua ini berbeda dengan masa lalu di mana ulama Hanafiyah memakruhkan pemberian insentif atau amplop kepada mereka karena kegigihan orang di masa lalu dalam melakukan hisbah (semacam amar makruf dan nahi munkar), banyaknya anggaran negara untuk mereka, dan kekuatan muruah pada pengusaha dan orang-orang kaya untuk membantu memberikan insentif sehingga mereka tidak memerlukan insentif atau amplop (dari masyarakat), semata menegakkan hisbah,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhaily, Subulul Istifadah minan Nawazil wal Fatawa wal Amalil Fiqhi fit Tathbiqatil Mu‘ashirah, [Damaskus, Darul Maktabi: 2001 M/1421 H], cetakan pertama, halaman 23).
Dari sini jelas bahwa pada masa mutaqaddimin, para guru agama mendapat kucuran anggaran dari negara dan juga orang-orang kaya. Hanya saja dijaman sekarang ustadz/ustadzah bukan ASN sehingga tidak mendapatkan gaji dari pemerintah. Selain itu kegiatan dakwahnya juga tidak mendapatkan anggaran dana dari orang kaya. Maka boleh mengambil upah/insentif dari masyarakat untuk melancarkan syiar islam.
Dilansir Pula dari Laman Rumaysho, Allah Ta’ala berfirman,
اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Yasin: 21)
Sudah sepatutnya bagi seorang dai yang berdakwah ikhlas karena Allah tidak menerima pemberian dari manusia dari harta walaupun ia diberi (bukan meminta). Karena itu akan merendahkan dirinya ketika menerima upah semacam itu karena ia berdakwah dan memberikan nasihat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak meminta upah (amplop), baik dengan omongan langsung atau lewat mimiknya.
Namun Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menyatakan bahwa kalau memang seorang dai dalam keadaan butuh, maka tidak mengapa ia mengambil amplop. Beliau berdalil dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
“Sesungguhnya yang lebih pantas untuk diambil upah adalah dari pengajaran Al Qur’an.” (HR. Bukhari, no. 5737). LihatTafsir Al-Qur’an Al-Karim – Surat Yasin, hlm. 77-78.
Kesimpulannya, seorang dai baiknya tidak menerima amplop ketika ia berdakwah, ini demi memuliakan dirinya dan menjaga keikhlasan. Ia bisa menerimanya ketika ia dalam keadaan butuh karena barangkali aktivitasnya hanya sibuk untuk berdakwah. Namun tentu saja yang paling baik adalah tidak memasang tarif, apalagi sangat-sangat tinggi.
Lalu Berapa Tarif Yang Dianjurkan
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Pendakwah boleh memasang tarif tapi tidak terlalu tinggi dan dinilai cukup memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarga (jika aktivitasnya hanya berdakwah).
Namun karena berdakwah kadang harus sampai ke luar kota/negeri. Boleh memasang tarif untuk biaya perjalanan dan transportasi serta tempat tinggal sementara waktu. Wallahu alam