Kisah Nyata (Part 6-End): Angkernya Jalur Dukuh Liwung Gunung Slamet
Pembicaraan berlangsung cukup lama, sepertinya sang penghuni tidak dengan mudahnya mengijinkan kami keluar dari hutan ini. Setelah kurang lebih 10 menit, dan dalam ketegangan ini kami pergunakan juga, sebagai waktu untuk kami mengatur nafas.
Akhirnya Pak Sakri meminta kami melanjutkan perjalanan. Sepertinya, sang penunggu pohon telah mengijinkan kami untuk pergi dari sini. Dengan kembali mengatur barisan, kami bergegas kembali menapaki jalur ini. Dalam hati ingin sekali menoleh ke arah pohon yang diajak bicara tadi, namun hati ini tak seberani keinginan, lebih baik menunduk saja, dan segera berlalu dari tempat ini.
Sejak kejadian barusan, kini perjalanan kami berlangsung normal, semua lancar tanpa hambatan. Jalur terlihat jelas, dan tidak butuh waktu berjam jam kami sudah sampai di perkebunan milik warga.
Kami ambruk terduduk sambil mengucap syukur “Alhamdulilllaaaahhhhhhh ya Allaaahhh,, akhirnyaaaaaa…” teriak kami seraya melabuhkan tubuh ini di sisa lahan sempit, dipinggir kebun ini. Sampai nya kami di sini, seperti kami baru kembali ke kehidupan nyata. Seperti kembali menemukan peradaban manusia, dimana sepanjang malam tadi kami seperti berputar-putar entah dimana.
Cukup lama kami terdiam, terduduk di perkebunan bawang milik warga. Tenaga kami sungguh terkuras habis. Kini waktu menunjukkan pukul 1 pagi.
Itu artinya 5 jam perjalanan turun kami dari pos 1, padahal hanya butuh waktu 1-2 jam perjalanan normal. Kami meluruskan kaki-kaki ini, sambil bertumpu di carrier masing-masing. Sambil sedikit bercanda membicarakan tentang kejadian malam ini. Namun tak banyak yang kami utarakan, karena kami sadar, kami masih disini, dekat dengan tempat mereka berdiam diri.
Akhirnya dengan tenaga yang tersisa, kami kembali melanjutkan perjalanan. Rumah Pak Sakri yang menjadi tujuan akhir kami, masih berjarak cukup jauh dari sini, kami masih harus melewati sawah, dan kebun karet milik warga. Panji dan Fahmi yang sudah sangat kelelahan serta sakit dikaki nya yang kian menjadi, sempat tidak mau berjalan lagi. Namun kami tidak mungkin bermalam disini. Dengan sedikit memaksa akhirnya mereka mau berjalan kembali, Panji dan Fahmi di papah oleh Bang Epps Serta Asep dan Usep, dibantu oleh Pak Sakri yang kini membawa carrier Panji.
Pukul 1.30 pagi, setelah melewati gang-gang sempit akhirnya kami sampai di rumah Pak Sakri. Legaaaa rasanya, senyum sumringah terpancar dari wajah kami. Ya Allah rasanya seperti menemukan mata air ditengah gurun pasir. Kini kami bisa berseka membersihkan diri, lalu istirahat tidur nyenyak malam ini.
**
EPILOG